YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Cahaya buatan yang semula dimaksudkan untuk membantu kehidupan manusia pada malam hari kini menimbulkan masalah baru. Fenomena polusi cahaya disebut dapat mengganggu kesehatan manusia, menurunkan efisiensi energi, hingga merusak keindahan langit malam yang menjadi objek penelitian astronomi. Peringatan itu disampaikan Prof Dr Eng Rinto Anugraha NQZ SSi MSi, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada, Kamis (25/9/2025) di Balai Senat UGM. Rinto dikukuhkan dalam bidang Ilmu Sosiofisika dan Jaringan Kompleks dengan pidato berjudul “Universalitas, Transisi Fase dan Fenomena Emergen dalam Fisika Interdisipliner: Dari Sosiofisika, Elektrokonveksi hingga Polusi Cahaya”. “Polusi cahaya terdengar sepele, tetapi dampaknya sangat luas. Dari lampu-lampu individu yang dipasang manusia, bisa timbul efek global yang mengubah wajah malam. Bimasakti menghilang dari pandangan mata di banyak kota besar, sementara kesehatan manusia dan efisiensi energi ikut terganggu,” tegas Prof Rinto. Ia menjelaskan, polusi cahaya merupakan salah satu contoh fenomena emergent, yakni pola besar yang muncul dari interaksi sederhana dalam skala kecil. Cahaya dari lampu rumah tangga, jalan, dan gedung jika dilihat sendiri tampak tidak berbahaya. Namun ketika jumlahnya masif dan tak terkendali, dampak global muncul: terganggunya siklus tidur, meningkatnya konsumsi energi, serta hilangnya kesempatan masyarakat melihat bentangan galaksi di langit malam. Menurutnya, masalah ini menjadi bukti eratnya keterkaitan antara ilmu dasar fisika dengan persoalan sosial-lingkungan. Polusi cahaya lahir dari inovasi teknologi, tetapi kemudian menimbulkan konsekuensi baru yang harus ditangani secara multidisiplin. “Inovasi harus diikuti kesadaran sosial dan lingkungan agar berkelanjutan,” ujarnya. Selain polusi cahaya, Prof. Rinto juga memaparkan teori universalitas, transisi fase, dan fenomena emergent yang biasa dipakai fisikawan untuk memahami gejala alam, namun kini dapat diterapkan ke ranah sosial. Salah satunya melalui sosiofisika, pendekatan interdisipliner yang memanfaatkan metodologi fisika-statistik untuk memahami pola interaksi manusia. Dari perbedaan opini individu, misalnya, bisa lahir keteraturan makroskopik berupa konsensus, polarisasi, hingga fragmentasi. Rektorat UGM menilai pandangan itu memperkuat posisi kampus sebagai pusat ilmu yang tak hanya memajukan teori, tetapi juga menjawab problem masyarakat. Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Prof Dr. Wahyudi Kumorotomo MPP menyebut Prof Rinto kini menjadi salah satu dari 541 guru besar aktif UGM, sekaligus bagian dari 57 guru besar FMIPA. “Kontribusi Prof Rinto penting karena menunjukkan bagaimana ilmu dasar bisa menyeberang ke ranah sosial, teknologi, dan lingkungan. Polusi cahaya adalah isu nyata yang sering tidak kita sadari, tetapi dampaknya serius bagi generasi mendatang,” ujar Wahyudi. Dengan pengukuhan ini, UGM menegaskan komitmennya melahirkan gagasan lintas disiplin yang memberi manfaat nyata. Bagi Prof Rinto, tantangan ke depan adalah bagaimana mendorong kesadaran publik dan kebijakan pemerintah agar polusi cahaya tidak makin meluas. “Langit malam adalah warisan bersama umat manusia. Menjaganya berarti juga menjaga kesehatan, efisiensi energi, dan keberlanjutan hidup kita,” pungkasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Brimob Polda Bali Amankan Kembang Api Sisa Dibuang di Ubung
• Hadapi Musim Hujan, Gubernur Bali dan Kepala BMKG Bahas Mitigasi Bencana
• Populasi Komodo Hanya 3.300 Ekor, Ancaman Punah Kian Nyata