Podiumnews.com / Horison / Adi Luhung

Puputan Badung dan Harga Diri Leluhur

Oleh Nyoman Sukadana • 13 September 2025 • 03:46:00 WITA

Puputan Badung dan Harga Diri Leluhur
Monumen Puputan Badung di Taman Puputan, Denpasar — ruang publik yang menyimpan ingatan sejarah 20 September 1906. (foto/Perumperindo)

DI Denpasar, Lapangan Puputan kini menjadi ruang publik. Setiap pagi orang berolahraga, pedagang menggelar dagangan, dan anak-anak berlarian di bawah pohon besar. Namun pada 20 September 1906, halaman puri di tempat ini menjadi saksi pilihan paling berat yang pernah diambil leluhur Badung: puputan, perlawanan habis-habisan melawan ekspedisi Belanda.

Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung keluar dari puri bersama keluarga dan pengikutnya. Mereka berpakaian upacara, sebagian membawa keris, ada yang hanya bambu, bahkan tangan kosong. Catatan kolonial menggambarkan pemandangan itu dengan heran sekaligus ngeri. “Mereka melangkah dengan pakaian upacara, seolah menghadiri perayaan, padahal yang menanti adalah hujan peluru,” tulis sejarawan Helen Creese dalam Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali (2017).

Arsip Belanda mencatat korban sekitar 400 orang. Tetapi penelitian Creese bersama Henk Schulte Nordholt dan I Nyoman Darma Putra memperlihatkan angka yang lebih besar. “Jumlah korban sesungguhnya lebih dari 1.100 jiwa, sebagian besar rakyat biasa,” jelas Darma Putra dalam pengantarnya. Angka itu memperlihatkan bahwa puputan bukan hanya keputusan raja dan bangsawan, tetapi juga rakyat kecil yang rela menyerahkan nyawa demi harga diri bersama.

Mengapa rakyat ikut serta? Jawabannya ada pada ikatan kultural dan spiritual antara puri dan masyarakat. “Kehormatan raja adalah kehormatan rakyat. Jika raja jatuh tanpa martabat, maka rakyat pun kehilangan jati dirinya,” kata Darma Putra, peneliti budaya Universitas Udayana.

Konsep itu diperkuat dalam penelitian A. A. Ketut Adi Antara dan timnya berjudul The Ideology Behind the War of Puputan Badung (2021). Mereka menulis, “Satya atau kesetiaan, wirang atau rasa malu tanpa kehormatan, serta prinsip mati tan tumut pejah menjadi fondasi moral yang membuat rakyat memilih jalan puputan.” Dengan kata lain, kematian terhormat dipandang lebih tinggi nilainya daripada hidup tanpa martabat.

Ingatan tentang puputan tidak berhenti pada 1906. Ia diwariskan lewat cerita lisan, tabuh-tabuhan, hingga pementasan seni. Di desa-desa, orang tua masih bercerita tentang leluhur yang meninggalkan rumah dan sawah untuk berjalan bersama puri. Ada yang kembali hanya sebagai nama dalam ingatan keluarga, ada pula yang hilang tanpa jejak.

Kini Denpasar telah berubah. Jalan raya yang padat, kantor pemerintahan, dan pusat perdagangan berdiri di atas tanah yang dulu dipenuhi tubuh bergelimpangan. Tetapi Lapangan Puputan Badung tetap menjadi ruang ingatan. Monumen yang diresmikan tahun 1973 menampilkan raja, permaisuri, dan putra mahkota dengan keris terhunus. Patung itu bukan hanya simbol bangsawan, melainkan juga mewakili rakyat yang ikut menyerahkan hidupnya.

Adrian Vickers dalam bukunya Bali: A Paradise Created (1989) menegaskan, “Puputan telah menjadi simbol Bali di mata dunia, bukan sekadar tragedi lokal.” Dari sanalah nilai harga diri leluhur menembus batas ruang dan waktu, menjadi bagian dari identitas yang tak lekang.

Hari ini, anak-anak masih berlarian di Lapangan Puputan. Mereka mungkin belum memahami makna monumen yang menjulang di hadapan mereka. Namun suatu hari, ketika kisah itu diceritakan kembali, mereka akan tahu bahwa leluhur mereka pernah memilih jalan puputan. Jalan itu memang berakhir dengan kematian, tetapi juga melahirkan pelajaran abadi. Bahwa martabat tidak boleh ditukar dengan apa pun.

Puputan Badung akhirnya bukan hanya kisah tentang seorang raja yang gagah berani, melainkan kisah seluruh rakyat yang menolak hidup tanpa kehormatan. Dari darah yang tumpah pada 1906 hingga napas yang berhembus di Denpasar modern, harga diri leluhur itu tetap hidup. Selama monumen berdiri dan kisahnya terus diceritakan, semangat puputan akan selalu menyala dalam denyut Bali.

(Tim Redaksi)