Search

Home / Sorot / Sosial Budaya

Dari Medan Puputan ke Denpasar Modern

Nyoman Sukadana   |    13 September 2025    |   04:07:00 WITA

Dari Medan Puputan ke Denpasar Modern
Suasana Lapangan Puputan Badung di Denpasar hari ini, ruang publik yang lahir dari bekas medan puputan tahun 1906. (Foto: Fitri Penyalai, Lapangan Puputan Badung.jpg — Wikimedia Commons (Own work, CC BY-SA 4.0)

SETIAP pagi, Lapangan Puputan Badung di jantung Denpasar selalu ramai. Ada warga yang berolahraga, pedagang kecil menata dagangan, hingga anak anak sekolah berlarian di bawah rindang pohon beringin. Suasana riuh ini begitu jauh dari gambaran kelam 20 September 1906, ketika tanah yang sama dipenuhi darah dan tubuh yang bergelimpangan. Di sinilah Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung, keluarga puri, dan banyak rakyatnya memilih jalan puputan, perlawanan habis habisan melawan pasukan Belanda.

Peristiwa itu bukan hanya tragedi politik, tetapi juga titik balik ruang kota. Sejarawan Henk Schulte Nordholt menulis dalam Bali Colonial Conceptions and Political Change 1700–1940 bahwa ekspedisi Belanda mengubah tata kuasa dan tata ruang Bali. Setelah puri hancur, Belanda membangun markas, kantor, dan jalan raya yang menjadikan Denpasar pusat administratif baru. Dari bekas halaman puri lahirlah lapangan kota yang kemudian dikenal sebagai Lapangan Puputan Badung.

Arsip kolonial Belanda mencatat korban sekitar 400 orang. Namun penelitian Helen Creese, Nordholt, dan I Nyoman Darma Putra dalam Seabad Puputan Badung menunjukkan jumlah korban lebih dari 1.100 jiwa, mayoritas rakyat biasa. Penjelasan pengantar Darma Putra menegaskan bahwa angka sesungguhnya jauh melampaui laporan resmi dan memperlihatkan puputan sebagai gerakan kolektif yang menyatukan puri dan rakyat.

Transformasi ruang semakin nyata pada masa kemerdekaan. Lapangan yang pernah menjadi medan perang kemudian menjadi pusat kegiatan warga. Di sinilah upacara kemerdekaan digelar, pawai budaya berlangsung, hingga rapat akbar masyarakat diadakan. Fungsi publik itu berpuncak pada 1973 ketika pemerintah daerah mendirikan Monumen Puputan Badung. Patung perunggu menggambarkan raja, permaisuri, dan putra mahkota dengan keris terhunus. Simbol bahwa puputan adalah warisan seluruh rakyat, bukan hanya puri.

Denpasar tidak hanya tumbuh sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, tetapi juga sebagai kota memori. Gagasan itu ditegaskan Darma Putra dalam pengantar Seabad Puputan Badung. Monumen dan lapangan menjadi jangkar memori kolektif, sekaligus menegaskan bahwa Denpasar modern lahir dari peristiwa sejarah yang berdarah. Di sekitar lapangan berdiri Bali Museum, kantor pemerintahan, sekolah, dan pusat perdagangan. Jalan Gajah Mada yang sibuk hanya beberapa langkah dari monumen, menandai denyut ekonomi kota.

Bagi generasi muda, Lapangan Puputan mungkin lebih dikenal sebagai ruang rekreasi atau panggung festival. Namun setiap kali mereka melewati monumen dengan keris terhunus, ada pesan yang disampaikan. Kota ini lahir dari keberanian mempertahankan harga diri. Ruang yang dahulu basah oleh darah kini menjadi ruang berkumpul, tetapi maknanya tetap sama. Tentang kesetiaan kepada leluhur dan keberanian menghadapi masa depan.

Antropolog Adrian Vickers dalam Bali A Paradise Created menyebut puputan sebagai simbol Bali di mata dunia. Ingatan itu diolah Denpasar bukan hanya lewat monumen, tetapi juga melalui festival budaya, kurikulum sekolah, hingga penamaan ruang dan jalan. Jejaknya hadir di keseharian, membuat kota ini tidak sekadar tumbuh secara fisik, tetapi juga secara makna.

Dari medan puputan ke Denpasar modern, perjalanan ruang ini memperlihatkan bahwa sejarah tidak hanya hidup di buku pelajaran, melainkan juga pada jejak kota. Denpasar berdiri bukan semata di atas jalan raya dan gedung gedung baru, melainkan di atas ingatan kolektif yang mengikat warganya dengan nilai keberanian dan kehormatan. Ketika melintasi Lapangan Puputan, berhentilah sejenak. Rasakan hiruk pikuk warga yang berolahraga atau anak anak yang bermain. Bayangkan pula gema masa lalu, ketika leluhur memilih mati dengan martabat. Dari situlah Denpasar modern menemukan jati dirinya. Sebuah kota yang lahir dari tragedi, namun tumbuh sebagai ruang kehidupan bersama.

(Tim Redaksi)

Baca juga :
  • Puputan Badung: Jejak Berani yang Abadi
  • Puputan Badung dan Harga Diri Leluhur
  • Ketika Rakyat Badung Memilih Puputan