Search

Home / Sorot / Sosial Budaya

Puputan Badung: Jejak Berani yang Abadi

Nyoman Sukadana   |    13 September 2025    |   04:20:00 WITA

Puputan Badung: Jejak Berani yang Abadi
Patung Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung, di Catuspata Banjar Tainsiat, Denpasar. (dok/Pemkot Denpasar)

SETIAP September, Lapangan Puputan Badung di Denpasar tidak pernah benar benar sunyi. Warga berkumpul, seniman menyiapkan pementasan, dan siswa sekolah datang bersama guru sejarah. Monumen perunggu yang menggambarkan raja, permaisuri, dan putra mahkota dengan keris terhunus berdiri sebagai poros acara. Peringatan ini bukan sekadar ritus seremonial. Ia adalah cara masyarakat menjaga ingatan dan menyalakan kembali keberanian leluhur.

Puputan Badung pada 20 September 1906 sering dipahami sebagai peristiwa tragis. Namun jejaknya melampaui catatan perang. Ia hidup dalam kesenian, pendidikan, dan ruang publik. Pementasan drama kolosal di Denpasar mengajak penonton menyaksikan kembali detik detik ketika rakyat keluar dari Puri Denpasar, memilih kehormatan menghadapi pasukan bersenjata lengkap. I Nyoman Darma Putra menulis bahwa puputan adalah warisan yang terus dimaknai ulang oleh masyarakat Bali dalam perayaan publik dan karya seni. Pandangan itu menegaskan bahwa ingatan sejarah bukan benda mati, melainkan sumber energi budaya.

Di ruang kelas, kisah puputan menjadi materi penting. Nama I Gusti Ngurah Made Agung diajarkan bukan hanya sebagai raja, tetapi juga simbol keberanian moral. Guru menekankan bahwa puputan tidak identik dengan kekalahan. Ia adalah pilihan martabat. Sejarawan Henk Schulte Nordholt menyebut dalam karyanya bahwa puputan memperlihatkan dimensi moral di atas hasil pertempuran. Penekanan ini memberi kacamata berbeda kepada generasi muda, bahwa sejarah tidak selalu diakhiri dengan menang atau kalah, melainkan dengan nilai yang dijunjung.

Jejak puputan juga tampak dalam seni rupa dan sastra. Pelukis menggambarkan langit merah dan barisan putih, penyair menulis tentang mati tan tumut pejah yang berarti lebih baik mati terhormat daripada hidup tanpa martabat. Antropolog Adrian Vickers menyebut puputan sebagai simbol Bali yang dikenal dunia. Simbol ini bukan sekadar ikon wisata, tetapi penanda identitas yang meneguhkan diri di tengah arus globalisasi.

Bagi warga Bali, mengenang puputan tidak berarti terjebak pada masa lalu. Ingatan itu menjadi cermin menghadapi tantangan kekinian. Dalam buku peringatan seabad puputan, Helen Creese menulis bahwa semangat puputan diterjemahkan kembali oleh generasi kontemporer. Hari ini keberanian bisa berarti berpegang pada integritas, menjaga lingkungan, mempertahankan bahasa dan kesenian, serta menolak praktik yang merusak nilai bersama. Di berbagai komunitas, semangat itu hadir sebagai dorongan moral untuk melindungi hutan, laut, dan kampung halaman.

Lapangan Puputan kini menjadi ruang hidup yang menyatukan warga. Anak anak berlari di jalur pedestrian, pedagang kecil mencari nafkah, wisatawan memotret monumen. Di balik keseharian itu, ada lapisan makna yang tidak pudar. Setiap langkah mengingatkan bahwa di tanah yang sama, leluhur pernah memilih jalan paling sukar. Kota bertumbuh, namun ingatan tetap menjadi fondasi.

Pemerintah Kota Denpasar secara rutin menggelar peringatan, pameran arsip, dan diskusi sejarah di kawasan ini. Bali Museum yang berdiri tidak jauh dari monumen menambah kedalaman konteks, menyediakan ruang belajar lintas generasi. Dengan rangkaian kegiatan tersebut, puputan tidak berhenti sebagai materi buku teks. Ia hadir sebagai pengalaman bersama, yang mengikat masa lalu, kini, dan masa depan.

Lebih dari seratus tahun berlalu, monumen yang diresmikan pada 1973 masih menatap tenang ke arah kota. Ia mengingatkan bahwa keberanian bukan sekadar menghunus keris menghadapi meriam. Keberanian juga berarti memilih yang benar ketika situasi memaksa untuk menyerah. Di situlah jejak puputan menjadi abadi. Ia menuntun warga untuk menakar ulang arti kehormatan di era baru.

Dari pementasan seni hingga pelajaran sekolah, dari peringatan lapangan hingga praktik keseharian, puputan terus dihidupi. Ia bukan hanya kisah perang yang selesai di halaman puri. Ia adalah denyut yang menjaga identitas. Setiap kali mata memandang keris terhunus di monumen, ada pesan yang tetap sama. Martabat tidak boleh ditukar dengan apa pun.

(Tim Redaksi)

Baca juga :
  • Dari Medan Puputan ke Denpasar Modern
  • Puputan Badung dan Harga Diri Leluhur
  • Ketika Rakyat Badung Memilih Puputan