PAGI itu, 20 September 1906, Denpasar belum seramai sekarang. Jalan-jalan masih berupa tanah, puri berdiri sebagai pusat kehidupan, dan rakyat hidup sederhana di sekitar sawah dan pasar. Namun suasana hari itu berbeda. Dari dalam Puri Denpasar, keluarga kerajaan, bangsawan, dan rakyat Badung keluar dengan balutan busana adat. Lelaki menghunus keris, perempuan menggandeng anak-anak mereka. Semua berdandan rapi, seolah hendak mengikuti upacara. Tidak ada tanda gentar. Mereka tahu di hadapan menanti pasukan kolonial Belanda lengkap dengan senjata modern. Namun langkah mereka tetap tegar. I Gusti Ngurah Made Agung, Raja Badung, berada di barisan depan. Catatan Belanda menuliskan bagaimana raja, keluarga, dan pengikutnya maju dengan tenang menghadapi deru meriam dan tembakan senapan. Tubuh-tubuh berguguran, darah mengalir di jalanan, namun barisan tidak bubar. Puputan terjadi, perang habis-habisan tanpa pilihan mundur. Menurut catatan resmi kolonial, korban jiwa dalam peristiwa ini berjumlah sekitar 400 orang. Namun sejarawan Helen Creese mencatat angka sebenarnya jauh lebih besar. “The official death toll was 400, although it is estimated that over 1,100 people died during the Badung puputan,” tulis Creese dalam studinya. Angka ini memperlihatkan betapa dahsyatnya pengorbanan rakyat Badung dalam satu hari. Bagi Belanda, peristiwa itu adalah penaklukan. Tetapi bagi Bali, peristiwa itu dikenang sebagai kemenangan moral. Dalam buku Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali, Helen Creese, Henk Schulte Nordholt, dan I Nyoman Darma Putra menegaskan bahwa puputan tidak sekadar pertempuran militer, melainkan ekspresi kehormatan yang berakar pada budaya Bali. Kajian akademik Ideology Behind the War of Puputan Badung menambahkan, pilihan untuk berpuputan lahir dari nilai-nilai kultural yang dalam. Konsep wirang atau rasa malu bila kehilangan harga diri, satya atau kesetiaan, dan prinsip mati tan tumut pejah atau lebih baik mati daripada menyerah menjadi fondasi moral. Para peneliti merangkum bahwa bagi masyarakat Bali, mempertahankan martabat lebih penting daripada bertahan hidup tanpa kehormatan. Nilai ini membuat keputusan puputan dapat dipahami bukan sebagai tindakan tanpa nalar, melainkan sebagai manifestasi konsisten dari pandangan hidup orang Bali. Lebih dari seabad berlalu, lokasi pertempuran itu kini dikenal sebagai Lapangan Puputan Badung di jantung Denpasar. Ruang publik ini ramai oleh warga setiap hari. Anak-anak berlarian, pedagang kecil mencari rezeki, orang tua berjalan santai di bawah pohon rindang. Namun di tengah keramaian itu, berdiri monumen puputan. Patung raja, permaisuri, dan putra mahkota menghunus keris. Patung ini adalah pengingat abadi bahwa di tanah yang sama pernah tumpah darah demi martabat. Pemerintah Kota Denpasar menempatkan monumen dan lapangan ini sebagai simbol identitas kota. Setiap September, tabur bunga, upacara adat, hingga pentas seni digelar di sini. Anak-anak sekolah mendengar kisah dari guru dan sejarawan, belajar bahwa kebebasan dan martabat selalu menuntut pengorbanan besar. Ingatan pada puputan hidup dalam buku, diskusi, dan karya seni, serta dalam kehidupan warga yang melewati lapangan itu setiap hari. Kini Bali tidak lagi menghadapi meriam kolonial. Tantangannya berbeda. Ada tekanan pariwisata massal, alih fungsi lahan, krisis lingkungan, serta arus globalisasi yang cepat. Namun di sinilah semangat puputan menemukan relevansinya. Jika dahulu keberanian diwujudkan dengan memilih mati terhormat, hari ini keberanian bisa berarti menjaga alam, menolak pembangunan yang merusak, dan melestarikan budaya yang mulai tergerus. Semangat itu mengajak kita menjaga keseimbangan antara kemajuan dan marwah, antara ekonomi dan kelestarian. Puputan Badung bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah nyali yang tetap berdenyut dalam ingatan kolektif. Ia adalah darah yang masih mengalir dalam nadi kebanggaan orang Bali. Selama monumen itu berdiri dan cerita ini dituturkan, Bali akan selalu punya alasan untuk berkata bahwa menyerah bukan pilihan. (Tim Redaksi)
Baca juga :
• Puputan Badung: Jejak Berani yang Abadi
• Dari Medan Puputan ke Denpasar Modern
• Puputan Badung dan Harga Diri Leluhur