KERETA mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Cicalengka. Dari jendela, hamparan sawah hijau membentang luas, berpadu dengan udara pagi yang masih segar. Di kejauhan, bukit-bukit kecil menampakkan siluetnya di bawah sinar matahari yang baru terbit. Suara roda besi beradu dengan rel, menciptakan irama yang menenangkan. Penumpang terdiam. Beberapa sibuk menatap pemandangan, yang lain sekadar menyandarkan kepala, membiarkan waktu berjalan dengan tenangnya. Jalur Cicalengka–Banjar dikenal sebagai salah satu lintasan paling indah di Jawa Barat. Tidak hanya karena pemandangan alamnya, tetapi juga karena suasananya yang tenang, seperti membawa penumpang melintasi ruang antara masa kini dan kenangan. Ada jembatan tua yang berdiri di atas lembah dalam, ada terowongan pendek peninggalan kolonial yang masih digunakan hingga kini, dan ada desa-desa kecil yang seolah melambaikan tangan dari kejauhan. Setiap kali kereta menembus kabut, suasana menjadi hening. Penumpang seperti larut dalam renungan masing-masing. Dari kursi sederhana itu, semua terlihat indah tanpa harus diubah. Seorang ibu menggendong anaknya yang tertidur. Seorang pria muda menatap layar ponsel, tapi matanya sesekali berpaling ke luar jendela. Seorang kakek menyesap kopi dari gelas plastik, menikmati setiap aroma yang tersisa. Mereka tak saling mengenal, tapi seolah berbagi keheningan yang sama. Perjalanan dengan kereta mengajarkan sesuatu yang sering dilupakan: seni untuk pelan. Di tengah dunia yang serba cepat, kereta memaksa kita berhenti mengejar. Ia berjalan dengan ritme yang pasti, tanpa tergesa. Dari kursi penumpang, orang belajar melihat lagi dunia yang selama ini terlewati begitu saja. Lintasan Cicalengka–Banjar merupakan bagian penting dari rute selatan Jawa yang membentang hingga ke Jawa Tengah. Di sepanjang perjalanan, mata disuguhi hamparan hutan pinus, lembah curam, dan sungai yang berliku di bawah jembatan baja tua. Di beberapa titik, rel seolah melayang di antara langit dan bumi. Pemandangan itu mengingatkan pada betapa megahnya lanskap Indonesia yang terbentuk dari waktu dan kesabaran. Bagi pecinta perjalanan lambat, jalur ini seperti hadiah. Tidak perlu kamera mahal atau jadwal padat. Cukup duduk di sisi jendela, biarkan cahaya masuk dari sela tirai, dan nikmati setiap tikungan rel yang membawa pemandangan baru. Ada yang menyebutnya wisata diam. Sebab keindahan itu hadir tanpa banyak suara, tanpa banyak kata. Perjalanan ini bukan satu-satunya yang menyajikan keindahan alam dari kursi penumpang. Di Indonesia, ada setidaknya tujuh jalur kereta yang menawarkan pesona serupa. Jalur Bandung–Cilacap dengan danau dan hutan pinusnya. Garut–Cibatu dengan stasiun tua yang menyimpan kisah masa lalu. Ambarawa–Bedono di Jawa Tengah yang menghadirkan pengalaman klasik dengan lokomotif uap. Di luar Jawa, jalur Padang–Pariaman menjadi favorit wisatawan karena menampilkan pemandangan pantai dan sawah di tepi laut. Sementara jalur Makassar–Parepare di Sulawesi mulai dikenal dengan panorama pegunungannya yang alami. Semua jalur itu memperlihatkan satu hal yang sama: bahwa perjalanan bisa menjadi cara berwisata yang paling manusiawi. Di dalam gerbong, waktu seolah punya bahasa sendiri. Ia tidak lagi diukur dengan jarum jam, tapi dengan irama roda yang melintasi rel. Setiap suara gesekan logam menjadi penanda bahwa kehidupan terus berjalan. Tidak cepat, tidak juga lambat, hanya cukup. Dari kursi penumpang, orang bisa belajar banyak hal. Tentang bagaimana berhenti sejenak untuk memandang keluar. Tentang cara menerima jarak dan waktu yang tidak bisa kita kendalikan. Tentang rasa syukur yang tumbuh dari hal sederhana seperti pemandangan sawah, bukit, dan langit yang berganti warna. Beberapa penumpang bahkan menjadikan perjalanan kereta sebagai terapi. Mereka menempuh ratusan kilometer hanya untuk duduk, membaca, atau sekadar diam. Ada yang menemukan ketenangan, ada yang menemukan inspirasi. Seorang penulis pernah bilang, setiap jendela kereta adalah bingkai kehidupan. Kita hanya perlu menatapnya dengan hati yang terbuka. Saat kereta mulai mendekati Stasiun Banjar, matahari sudah tinggi. Cahaya siang menembus jendela dan menyapa penumpang yang mulai bersiap turun. Beberapa tersenyum, beberapa masih menatap keluar, seolah belum ingin berpisah. Perjalanan mungkin berakhir, tapi keindahannya tinggal lama dalam ingatan. Kereta tidak menjanjikan kemewahan, tapi menghadirkan ketenangan. Ia tidak membawa kita jauh, tapi membawa kita kembali pada rasa yang sering hilang: rasa cukup. Itulah mengapa, bagi sebagian orang, perjalanan dengan kereta bukan sekadar cara bepergian. Ia menjadi cara untuk pulang, meski tanpa tujuan tertentu. Karena pada akhirnya, setiap perjalanan yang dijalani dengan hati tenang akan selalu sampai pada tempat yang paling penting, diri sendiri. (riki/sukadana)Perjalanan yang Membuat Diam
Jalur Selatan yang Penuh Pesona
Tujuh Jalur Paling Indah
Kursi yang Mengajarkan Makna
Perjalanan yang Layak Diulang
Baca juga :
• Layar Buleleng Bersih: Era Digital Tiba
• Dapur Bali Berbisik: Saatnya Pilah, Saatnya Pulih
• Dari Sungai Kumuh Jadi Tukad Korea