Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Bahagia yang Dicicil

Nyoman Sukadana   |    01 Oktober 2025    |   13:01:00 WITA

Bahagia yang Dicicil
Ilustrasi perempuan memeriksa ponsel setelah menerima notifikasi “Cicilan berhasil dibayar”, simbol bahagia yang lahir dari rasa lega. (podiumnews)

SUARA notifikasi dari aplikasi belanja berbunyi pelan di ponsel Arini. “Cicilan bulan ini berhasil dibayar.” Ia menatap layar beberapa detik, lalu tersenyum kecil. Bukan karena bahagia, tapi karena lega. Satu cicilan lunas, dua lagi menunggu.

Arini, 33 tahun, bekerja di sebuah perusahaan swasta di Denpasar. Setiap pagi ia berangkat kerja dengan motor cicilan, mengenakan pakaian kerja sederhana, dan sesekali mampir ke kafe untuk membeli kopi susu yang katanya jadi bagian dari self reward. Gajinya delapan juta rupiah per bulan. Dari luar, hidupnya tampak stabil. Tapi di balik semua itu, hampir setiap tanggal muda menjadi awal dari rangkaian pembayaran panjang: handphone, motor, paylater belanja, dan kartu kredit yang hampir penuh.

Ada kalimat lama yang tetap terasa benar hingga kini: orang miskin berutang karena terpaksa, orang kaya berutang karena strategi, dan orang kelas menengah berutang karena gengsi. Kalimat itu kini menjadi cermin paling jernih dari wajah masyarakat Indonesia masa kini. Sebuah masyarakat yang tumbuh di tengah kemudahan akses keuangan, tetapi perlahan kehilangan arah antara kebutuhan dan keinginan.

Dalam film Imperfect, tokoh Rara berjuang melawan tekanan sosial tentang penampilan. Arini pun demikian, hanya dalam bentuk yang lebih modern. Ia tidak dikejar oleh standar kecantikan, tetapi oleh standar kebahagiaan. Ia harus tampak bahagia, terlihat mapan, dan seolah menikmati hidup. Padahal ia tahu, setiap akhir bulan selalu ada kekhawatiran yang sama: cukupkah uang untuk bertahan sampai gajian berikutnya.

Cerita Arini mungkin fiktif, tapi datanya nyata. Bank Dunia memperkirakan jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 52 juta jiwa, sekitar 20 persen dari populasi. Rata-rata penghasilan mereka berkisar antara enam hingga sepuluh juta rupiah per bulan. Namun menurut riset Katadata Insight Center (2024), lebih dari separuh kelompok ini menggunakan layanan paylater untuk pembelian non-esensial seperti gadget, tiket konser, dan liburan.

Di Bali, kelas menengah tumbuh pesat pascapandemi. Riset SMERU Institute mencatat peningkatan signifikan kelompok vulnerable middle class, mereka yang tampak mapan tetapi rentan secara finansial. Rata-rata penghasilannya antara tujuh hingga sembilan juta rupiah per bulan, dengan aset utama berupa motor, beberapa perabot rumah tangga, dan rumah kecil di pinggiran Denpasar atau Gianyar. Mereka menjadi target empuk kredit konsumtif.

Data Bank Indonesia menunjukkan lonjakan transaksi paylater di Bali sebesar 46 persen hanya dalam dua tahun terakhir. OJK juga mencatat, kredit konsumtif nasional sudah menembus Rp750 triliun, dengan 73 persen berasal dari kelas menengah urban.

Budaya utang kini bukan lagi tanda kesulitan, tetapi bagian dari gaya hidup. Di media sosial, iklan bertaburan menawarkan kebahagiaan dalam bentuk cicilan ringan. Slogan “beli sekarang, bayar nanti” terdengar sederhana, namun menyimpan logika yang halus: bahwa menunda pembayaran dianggap wajar selama terlihat bahagia.

Di titik ini, banyak orang mulai kehilangan kemampuan untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Mereka hidup dalam lingkaran validasi sosial, merasa diterima karena bisa membeli, bukan karena bisa menahan diri. Sosiolog Imam Prasodjo menyebutnya sebagai bentuk status anxiety atau kecemasan untuk tetap terlihat setara dengan lingkungan sosialnya. Orang tidak takut miskin, tetapi takut tampak kalah.

Fenomena serupa juga terlihat di Bali. Keluarga muda di kota dan desa sama-sama ingin terlihat berhasil. Upacara adat menjadi ruang perbandingan tak kasat mata: busana lebih mahal, mobil lebih baru, dekorasi lebih megah. Di satu sisi, tradisi tetap dijaga. Namun di sisi lain, modernitas menciptakan tekanan baru. Nilai seseorang perlahan diukur dari kemampuan membeli, bukan dari kemampuan memberi makna.

BPS Bali mencatat peningkatan pengeluaran konsumtif rumah tangga hingga 12 persen dalam dua tahun terakhir, terutama untuk sektor hiburan, gawai, dan fesyen. Ironisnya, pertumbuhan tabungan justru turun 7 persen pada periode yang sama. Artinya, semakin banyak orang yang mengeluarkan uang untuk terlihat bahagia, bukan untuk hidup tenang.

Bahagia kini menjadi sesuatu yang bisa dikredit. Ia diukur dari jumlah transaksi, bukan dari rasa syukur. Arini dan jutaan orang lain hidup di antara dua kenyataan: di layar terlihat mapan, di dunia nyata terus menghitung sisa saldo.

“Yang penting kelihatan bahagia dulu,” kata salah satu temannya sambil tertawa di kafe. Candaan yang sering terdengar ringan, tapi sesungguhnya getir. Karena di tengah keinginan untuk diterima, banyak orang lupa pada hal sederhana: hidup tidak seharusnya jadi perlombaan untuk tampil bahagia.

Bahagia yang dicicil adalah gambaran paling jujur tentang zaman ini. Zaman di mana rasa cukup kalah oleh dorongan untuk diakui. Banyak orang kini bekerja bukan untuk hidup lebih baik, tetapi untuk membayar kehidupan yang sudah mereka tampilkan.

Pada akhirnya, bahagia tidak pernah datang dari barang yang baru, tapi dari hati yang mampu berhenti mengejar. Mungkin Arini masih akan terus mencicil ponsel baru, sofa baru, kebahagiaan baru. Tapi semoga suatu hari nanti, ia juga berani mencicil satu hal paling penting: rasa damai.

Karena bahagia sejati bukan soal seberapa banyak yang bisa dibeli, tetapi seberapa banyak yang bisa ditahan untuk tidak dibeli. (*)

(devi/sukadana)

 
 
 

Baca juga :
  • Bupati Badung Apresiasi Kuta Rock City Festival 2025
  • Mariah Carey Sukses Memukau Ribuan Nasabah OCBC dalam Private Concert PME 2025
  • Koster Luncurkan Wi-Fi 7 Pertama di Bali, Akses Internet Harus Setara