Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Yang Pelan, Itulah Hidup

Nyoman Sukadana   |    03 Oktober 2025    |   15:22:00 WITA

Yang Pelan, Itulah Hidup
Kamar tipe limasan di Omah Sebumi berlokasi di Magelang, Jawa Tengah. (Sumber/Tribuntravel)

HUJAN tipis turun di lereng Gunung Salak ketika Rara memindahkan bibit cabai ke pot tanah liat. Tangannya kotor oleh lumpur, tapi matanya tenang. Tak ada suara kendaraan, hanya serangga dan embun yang menempel di daun. Di dapur kecil, air mendidih di atas tungku kayu. Sebentar lagi kopi siap diseduh.

Rara, 35 tahun, dulu bekerja di sebuah agensi iklan di Jakarta. Gajinya dua digit, agendanya padat, dan hidupnya seperti lomba tanpa garis akhir. Pagi terburu-buru, malam penuh lembur, akhir pekan jadi pelarian. Liburan baginya bukan lagi waktu beristirahat, melainkan sekadar jeda sebelum kembali ke rutinitas yang menyesakkan.

Namun pandemi mengubah segalanya. Ketika dunia berhenti sejenak, Rara justru mendengar sesuatu yang lama ia abaikan: suara dirinya sendiri. Ia mulai menanam, merawat halaman kecil di rumah kontrakan, dan menemukan ketenangan dalam kegiatan yang tak pernah ia bayangkan akan disukainya.

Cerita Rara hanyalah fiksi. Tapi kisah seperti dirinya nyata di sekitar kita. Ia adalah bayangan dari banyak orang yang memilih hidup pelan, kembali dekat dengan alam, dan menemukan makna dalam kesederhanaan. Dalam kehidupan nyata, kisah itu hidup di sosok-sosok seperti Ukke dan Ucok, pasangan yang membangun Kabin Kebun di Bogor, serta Laras dan Ius, arsitek muda pendiri Omah Sebumi di Yogyakarta.

Kabin Kecil di Lereng Bogor

Ukke Kosasih dan Rizki “Ucok” Utama pernah hidup di tengah gemerlap Jakarta. Ukke bekerja di industri kreatif dan sempat berkarier di dunia media, sementara Ucok bergelut di bidang desain dan teknologi. Mereka hidup dengan ritme cepat seperti kebanyakan orang kota: sibuk, produktif, dan selalu mengejar sesuatu yang terasa belum cukup.

Sampai akhirnya, mereka memutuskan berhenti.

Sekitar tahun 2019, pasangan ini membeli sebidang lahan di kawasan Megamendung, Bogor. Tanah itu tak luas, sebagian masih berupa hutan kecil dengan lereng yang menurun. Di sanalah mereka membangun Kabin Kebun, rumah mungil dari kayu dan kaca yang berpadu dengan lanskap alam sekitarnya. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada bangunan besar, hanya ruang terbuka di mana cahaya dan angin bebas masuk.

Hari-hari mereka kini diisi dengan hal sederhana: menanam sayur, memelihara ayam, menata kebun, dan menyeduh kopi di beranda setiap pagi. Kadang mereka berbagi kisah di media sosial, bukan untuk pamer, tapi untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan bisa sesederhana menikmati hujan di tengah pepohonan.

“Dulu kami pikir hidup yang tenang itu harus dicapai setelah semua selesai. Sekarang kami tahu, ketenangan itu bisa dipilih, bukan ditunggu,” ujar Ukke dalam satu wawancara.

Kini Kabin Kebun menjadi simbol dari semangat slow living. Banyak orang datang bukan untuk berlibur mewah, tapi untuk belajar menenangkan diri. Beberapa tamu bahkan datang untuk sekadar membaca, menulis, atau menatap langit malam. Di tempat itu, waktu seolah berjalan lebih pelan, dan kehidupan kembali terasa nyata.

Rumah yang Menyatu dengan Bumi

Jauh di Yogyakarta, pasangan Larasati Widyaputri dan Gregorius I.K. atau Ius membangun sesuatu yang serupa dalam semangat, meski berbeda wujud.

Laras dan Ius sama-sama berlatar arsitektur. Mereka mendirikan Omah Sebumi, sebuah rumah sekaligus ruang belajar tentang kehidupan yang berkelanjutan. “Omah” berarti rumah, sementara “Sembumi” diambil dari kata sebumi, yang berarti satu dengan bumi.

Bangunan itu berdiri di tengah suasana pedesaan Maguwoharjo, Sleman. Mereka merancangnya dengan prinsip keberlanjutan: material alami, tata ruang terbuka, dan sirkulasi udara alami. Atap rumah memanjang mengikuti arah matahari, dindingnya terbuat dari bata ekspos, kayu jati, dan material lokal yang mudah didaur ulang. Sebagian besar interiornya dibuat dari bahan bekas yang diolah ulang dengan sentuhan estetika yang hangat.

Namun Omah Sebumi bukan sekadar tempat tinggal. Di sana, Laras dan Ius membuka kelas dan lokakarya kecil bagi siapa pun yang ingin belajar tentang arsitektur berkelanjutan, konservasi, dan kesadaran ekologis. Mereka mengajak masyarakat untuk melihat kembali hubungan manusia dan bumi, bukan sebagai pemilik dan objek, tapi sebagai dua entitas yang saling menjaga.

“Bagi kami, membangun rumah bukan hanya soal desain, tapi tentang nilai. Kami ingin hidup dalam rumah yang tidak merusak alam, tapi hidup bersamanya,” kata Laras dalam salah satu bincang daring.

Menepi, Bukan Menyerah

Baik Ukke maupun Laras sama-sama memutuskan untuk melambat. Mereka meninggalkan ritme kota yang bising dan memilih kehidupan yang mungkin terlihat sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada keberanian besar untuk menolak arus utama.

Ketika banyak orang berlomba membangun lebih tinggi dan membeli lebih banyak, mereka justru menanam, merawat, dan menunggu. Ketika orang lain sibuk mempercepat langkah, mereka justru memilih berhenti sejenak untuk mendengar napas sendiri.

Fenomena ini sejalan dengan tren global slow living, eco minimalism, dan quiet life movement. Setelah bertahun-tahun hidup di bawah tekanan produktivitas dan tuntutan digital, manusia mulai merindukan hal paling sederhana: waktu untuk bernapas, udara yang bersih, dan rasa cukup.

Kembali pada Akar

Di Bali, nilai semacam itu bukanlah hal baru. Sejak lama, masyarakat Bali hidup dengan filosofi Tri Hita Karana, tiga harmoni kehidupan: hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam.

Prinsip itu kini terasa semakin relevan. Generasi muda Bali mulai kembali bercocok tanam, membangun rumah dengan material alami, dan hidup selaras dengan musim. Di banyak desa, gerakan menanam sayur di halaman, membuat pupuk organik, hingga hidup tanpa plastik menjadi bagian dari keseharian baru yang berakar pada kearifan lama.

Di dunia global, gaya hidup seperti ini punya berbagai nama: slow life, sustainable living, quiet quitting, atau back to nature movement. Tapi di Bali dan banyak budaya Nusantara lainnya, nilai itu sudah lama tumbuh tanpa label. Hidup sederhana bukan romantisme, melainkan cara menjaga keseimbangan antara manusia dan semesta.

Pelan yang Menumbuhkan

Ukke di Bogor dan Laras di Yogyakarta mungkin tampak seperti dua titik kecil di peta besar dunia modern. Namun dari tempat mereka yang tenang, lahir kesadaran baru: bahwa manusia tidak sedang kehilangan kemajuan, melainkan kehilangan arah.

Hidup sederhana bukan berarti mundur, tapi memilih arah yang lebih jernih. Dalam keheningan dan kesunyian, mereka menemukan sesuatu yang sering hilang di tengah kebisingan kota: makna.

Mungkin di mata sebagian orang, hidup mereka tampak terlalu pelan. Tapi justru dalam kepelanan itu, mereka benar-benar hidup.

Karena pada akhirnya, hidup yang terlalu cepat sering membuat kita lupa bagaimana rasanya berhenti. Dan barangkali, seperti yang dijalani Ukke dan Laras, yang pelan itulah hidup yang sesungguhnya.

(sukadana)

Baca juga :
  • Bupati Badung Apresiasi Kuta Rock City Festival 2025
  • Mariah Carey Sukses Memukau Ribuan Nasabah OCBC dalam Private Concert PME 2025
  • Koster Luncurkan Wi-Fi 7 Pertama di Bali, Akses Internet Harus Setara