Podiumnews.com / Horison / Hayati

Subak: Elegi Ekologi di Pulau Dewata

Oleh Nyoman Sukadana • 06 November 2025 • 02:11:00 WITA

Subak: Elegi Ekologi di Pulau Dewata
Kontras ironis Bali: Subak yang subur digerogoti pembangunan pariwisata. Harmoni alam terancam oleh kapitalisme, memicu elegi ekologi yang mendalam. (podiumnews)

PULAU Bali adalah paradoks estetika. Lanskapnya menjanjikan harmoni yang disajikan melalui sistem Subak, yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana: keselarasan yang mencakup hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam (Palemahan). Namun, di balik keindahan yang ditawarkan kepada turis, jantung ekologi Bali sedang didera oleh kapitalisme pembangunan, yang tak terkendali.

Krisis ini melampaui sekadar statistik alih fungsi lahan: ia adalah konflik filosofis antara nilai intrinsik alam dan nilai instrumental yang diukur dari keuntungan komersial. Ketika pariwisata masif melahap lahan Subak, yang hilang bukan hanya petak sawah, melainkan juga fondasi kultural, keanekaragaman hayati, dan martabat ekologis sebuah peradaban.

Skala Kecil Diredam

Konversi lahan Subak secara fundamental melanggar prinsip keberlanjutan. Filsuf ekonomi E.F. Schumacher dalam karyanya yang terkenal, Small Is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered, mengajukan kritik mendalam terhadap obsesi pertumbuhan skala besar. Bagi Schumacher, sistem yang besar (big system) cenderung merusak manusia dan alam, sementara sistem yang kecil (small system) lebih manusiawi, etis, dan berkelanjutan.

Subak adalah perwujudan sempurna dari ekonomi skala kecil yang cerdas: dikelola komunitas, efisien dalam air, dan terintegrasi secara spiritual. Namun, gelombang investasi pariwisata, yang diwujudkan dalam pembangunan hotel, vila, dan resor besar, menerapkan logika skala eksponensial. Infrastruktur pariwisata ini menuntut lahan luas, konsumsi air besar, dan bergantung pada modal dari luar.

Logika eksponensial inilah yang memicu konflik lahan. Bagi investor, satu hektar Subak hanyalah komoditas tanah dengan nilai jual yang tinggi, sementara bagi petani, satu hektar adalah sumber penghidupan, warisan, dan habitat mikro yang menopang keanekaragaman hayati lokal. Di sinilah terjadi pergeseran tragis: Nilai luhur Subak sebagai warisan kolektif direduksi menjadi aset individu yang siap dicairkan demi keuntungan instan, membenarkan ramalan Schumacher tentang bagaimana ekonomi raksasa menghancurkan yang kecil dan bermakna.

Reduksi Nilai Ekologis

Inti dari krisis ekologi Subak adalah kegagalan kita melihat nilai intrinsik alam, melanggar prinsip Palemahan dalam Tri Hita Karana. Pengalihan fungsi lahan sawah menjadi beton bukan hanya mengurangi area tanam, tetapi secara harfiah memfragmentasi habitat. Sawah basah, saluran air, dan telajakan (kawasan hijau penyangga) adalah rumah bagi berbagai spesies amfibi, serangga, dan flora unik, termasuk pohon endemik seperti Majegau (Dysoxylum densiflorum) yang kian terancam.

Filsuf ekologi Arne Næss, melalui konsep Ekologi Dalam (Deep Ecology), berargumen bahwa semua bentuk kehidupan memiliki hak yang setara untuk berkembang, terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Pandangan ini bertentangan tajam dengan pandangan antropocentris yang mendominasi pembangunan Bali, di mana alam (dalam hal ini Subak dan keanekaragaman hayatinya) hanya berharga sejauh ia mendukung pariwisata atau menghasilkan uang.

Ketika Palemahan diabaikan, kita kehilangan kemampuan ekosistem untuk memberi jasa alami: menjaga siklus hidrologi, menyerap karbon, dan berfungsi sebagai penahan banjir. Nilai instrumental pariwisata telah membutakan mata kita terhadap nilai intrinsik yang menjaga Pulau Dewata tetap hidup secara ekologis. Inilah yang menyebabkan krisis air di Subak-Subak yang tersisa, di mana air irigasi kini harus bersaing dengan permintaan air komersial properti. Subak terjebak dalam pusaran komersialisasi air, sementara kekayaan hayati di dalamnya mati secara perlahan.

Tata Ruang Kapital

Krisis Subak juga merupakan isu kegagalan politik dan tata ruang. Akademisi telah berulang kali menyoroti bahwa fenomena konversi lahan didorong oleh lemahnya penegakan aturan tata ruang dan tingginya tekanan investor.

Di samping hukum formal, masyarakat Bali memiliki Awig-Awig, yakni hukum adat desa yang secara tradisional sangat efektif mengatur tata ruang dan pemanfaatan sumber daya Subak. Namun, Awig-Awig ini seringkali tak berdaya ketika berhadapan dengan izin pembangunan dan modal besar yang dilindungi oleh hukum negara. Geograf-Marxis David Harvey memperkenalkan konsep "Accumulation by Dispossession" (Akumulasi Melalui Perampasan), di mana modal mencari kekayaan melalui perampasan sumber daya komunal. Di Bali, tanah Subak dirampas secara de facto oleh tekanan pasar.

Pemerintah daerah berada dalam dilema etis: mempertahankan Warisan Dunia yang tidak menghasilkan pajak besar, atau menerima pendapatan dari pariwisata dan properti yang menjanjikan PAD tinggi. Hingga kini, pilihan yang dominan adalah yang kedua. Tata ruang menjadi instrumen modal, alih-alih pelindung etika ekologis. Eksistensi petani yang berjuang mempertahankan sawahnya adalah representasi perlawanan terhadap kolonialisme internal yang dilakukan oleh kepentingan modal dan birokrasi yang permisif.

Kearifan Etnis Solusi

Untuk menyelamatkan Subak, kita harus melakukan rekonsiliasi filosofis dan mengembalikan Konsep Nyegara Gunung sebagai poros kebijakan. Filosofi ini menekankan kesatuan dan keterhubungan ekologis antara hulu (gunung, sumber air) dan hilir (laut/pesisir). Krisis Subak dan air adalah bukti terputusnya rantai Nyegara Gunung akibat pembangunan yang serampangan di kawasan hulu.

Solusi tidak terletak pada moratorium semata, melainkan pada perubahan paradigma kebijakan. Diperlukan penetapan LP2B yang sangat ketat dan disertai insentif ekologis yang besar bagi petani. Penguatan Awig-Awig harus menjadi bagian integral dari regulasi tata ruang formal, memastikan kearifan lokal punya kekuatan hukum untuk melindungi lahan. Biaya yang timbul dari krisis lingkungan (banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati) jauh lebih mahal daripada keuntungan pajak jangka pendek dari vila-vila baru.

Schumacher mengingatkan kita bahwa ekonomi yang sehat adalah yang melayani kehidupan, bukan sebaliknya. Bali perlu mencari model pariwisata yang Small Is Beautiful, yaitu yang berbasis komunitas, menghormati skala Subak, dan membayar green premium kepada petani yang aktif menjaga ekosistem.

Tanpa kesadaran kolektif untuk menempatkan nilai intrinsik Subak di atas nilai instrumental pariwisata, Elegi Ekologi ini akan segera berakhir dengan kepunahan sistem yang telah menopang Bali selama ribuan tahun. Masa depan pulau dewata ditentukan oleh seberapa jauh kita berani melawan desakan kapital, dan seberapa tulus kita kembali pada kearifan ekologis leluhur. (*)

Menot Sukadana