Podiumnews.com / Horison / Hayati

Bali Tenggelam Kegagalan Tata Ruang

Oleh Nyoman Sukadana • 06 November 2025 • 19:54:00 WITA

Bali Tenggelam Kegagalan Tata Ruang
Betonisasi Denpasar mengundang air. Kontras memilukan, sawah diapit gedung-gedung mewah kini terendam akibat kelalaian tata ruang. (podiumnews)

BANJIR di Denpasar dan wilayah metropolitan sekitarnya (Badung Selatan) telah beranjak dari sekadar gangguan musiman menjadi krisis ekologis dan tata ruang yang mengancam citra dan keberlanjutan Pulau Dewata. Banjir ini bukan lagi takdir alam semata akibat curah hujan ekstrem, melainkan hasil dari kerentanan (vulnerability) yang kita ciptakan sendiri melalui kebijakan pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan. Krisis ini menuntut kita memandang banjir melalui dua lensa utama Teori Kerentanan Bencana dan Prinsip Hidrolik Perkotaan.

Faktor alam, yakni curah hujan tinggi dan topografi Denpasar yang landai mengarah ke selatan, selalu menjadi ancaman (hazard) yang memang ada. Namun, yang meningkatkan kerentanan fisik hingga level kritis adalah laju urbanisasi yang brutal. Kawasan persawahan, rawa, dan hutan mangrove, yang secara alami berfungsi sebagai kolam retensi dan resapan air, telah secara masif diubah menjadi kawasan permukiman, hotel, dan infrastruktur beton. Setiap meter persegi yang dicor beton berarti satu meter persegi kehilangan kemampuan menyerap air.

Akibat alih fungsi lahan ini, volume air permukaan (run-off) yang harus ditangani oleh sistem drainase kota meningkat drastis. Betonasi menghalangi infiltrasi (penyerapan), memaksa semua air mengalir secara horizontal. Masalah ini diperburuk oleh kelemahan infrastruktur sistem drainase Denpasar dibangun di masa lalu dan tidak didesain untuk menampung volume air sebesar ini, ditambah lagi diperparah oleh sedimentasi, dan pendangkalan sungai seperti Tukad Badung dan Tukad Mati.

Kerentanan diperparah lebih jauh oleh faktor sosial-ekonomi yang tercermin dari pengelolaan sampah yang buruk. Ribuan ton sampah domestik berakhir di sungai dan saluran drainase. Sampah-sampah ini berfungsi sebagai sumbat (plug) yang mengubah saluran air dari pipa pengalir menjadi tangki genangan. Ketika hujan lebat datang, air yang seharusnya mengalir kini terperangkap, menyebabkan genangan instan dan berkepanjangan di area-area vital seperti Simpang Siur, Kuta, dan Sanur. Inilah cerminan kegagalan kita dalam menerapkan prinsip Komunitarianisme, seperti yang ditekankan oleh Amitai Etzioni. Individu mengedepankan hak untuk hidup praktis namun melupakan tanggung jawab komunal untuk menjaga fasilitas publik agar berfungsi optimal bagi seluruh warga.

Krisis ini menunjukkan bahwa pembangunan Denpasar telah melanggar prinsip-prinsip mendasar yang diwanti-wanti oleh para pemikir. Teori Populasi Thomas Robert Malthus memiliki inti pesan tentang keterbatasan daya dukung bumi yang sangat relevan di sini. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali telah mendikte pertumbuhan fisik kota, yang pada gilirannya melampaui kemampuan lingkungan Denpasar untuk mengelola air dan limbah. Banjir adalah feedback negatif dari alam, sebuah "koreksi" yang menyakitkan karena kita mengambil ruang resapan air lebih banyak daripada yang bisa ditoleransi oleh sistem alam. Senada dengan itu, tokoh pemikir kota, Jane Jacobs, akan melihat banjir sebagai konsekuensi langsung dari kegagalan merancang kota yang berintegrasi dengan siklus alam, bukannya melawannya. Jacobs menekankan bahwa kota yang baik adalah kota yang memiliki ekologi yang kompleks, yang mampu "bernafas." Denpasar telah mematikan fungsi "paru-paru" kotanya dan harus mengakui hak air untuk mengalir dan diresap.

Menghadapi tantangan yang multikriteria ini, penanganan bencana di Denpasar harus mengikuti prinsip Analytical Hierarchy Process (AHP) Saaty, yaitu menentukan prioritas penanganan yang terukur. Pemerintah tidak bisa hanya fokus pada satu solusi, misalnya normalisasi sungai, dan mengabaikan faktor lain seperti pengelolaan sampah atau penegakan tata ruang. Yang paling kritis di Denpasar saat ini adalah penegakan tata ruang untuk menghentikan betonasi dan revitalisasi ekosistem air kota.

Krisis banjir Denpasar tidak dapat diselesaikan dengan respons teknis belaka. Diperlukan deklarasi darurat tata ruang dan perubahan fundamental dalam cara kita melihat dan memperlakukan kota. Ini berarti Pengendalian Pembangunan yang Ekstrem, di mana Pemerintah harus secara ketat menghentikan izin pembangunan di kawasan resapan dan segera merealisasikan target Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas kota.

Selanjutnya, kita harus beralih ke Infrastruktur Hijau, mengimplementasikan solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions) seperti pembangunan sumur resapan komunal dan individual secara masif, pembuatan kolam retensi besar di hulu, dan revitalisasi kanal alami. Solusi ini memungkinkan kota untuk "menyimpan" air alih-alih mencoba mengalirkannya secepat mungkin. Tentu saja, Reformasi Pengelolaan Sampah juga wajib dilakukan, mendorong masyarakat untuk memilah dan mengolah sampah dari sumbernya, disertai penegakan hukum yang tegas terhadap pembuang sampah di sungai.

Banjir Denpasar adalah teguran keras bagi Bali yang terbuai oleh pertumbuhan ekonomi semu. Kegagalan kita dalam mengelola air mencerminkan kegagalan kita dalam mengelola diri sendiri, dari level perorangan yang membuang sampah sembarangan hingga level pembuat kebijakan yang melonggarkan aturan tata ruang. Mewujudkan Denpasar yang tangguh membutuhkan keberanian politik untuk mengambil keputusan yang tidak populer mengorbankan kepentingan ekonomi jangka pendek demi keselamatan dan keberlanjutan ekologis jangka panjang. Hanya dengan mengakui bahwa air berhak atas ruangnya di kota, kita dapat menghentikan Bali dari risiko tenggelam. (*)

Menot Sukadana