Pahlawan yang Menjaga Tanah
FILM Dark Waters, yang dirilis pada 2019 dan disutradarai Todd Haynes, tidak datang dengan gebyar seperti film heroik yang menggempur layar lebar. Ia bergerak pelan, menyusup lewat adegan sederhana: sebuah truk melintasi jalan berpasir, seekor sapi yang berlari gelisah, dan seorang petani bernama Wilbur Tennant yang menatap air sungai di Parkersburg, West Virginia, seolah membaca pesan genting yang hanya dimengerti alam. Dari potongan hidup yang tampak sepele itu, benang bencana mulai ditarik.
Film yang dibintangi Mark Ruffalo ini diangkat dari laporan investigasi The Lawyer Who Became DuPont’s Worst Nightmare di The New York Times Magazine. Di sana, kita diperkenalkan kepada Robert Bilott, seorang pengacara korporat yang selama bertahun-tahun membela perusahaan kimia sebelum akhirnya berbalik arah setelah menerima satu keluhan kecil dari Tennant, petani yang kehilangan ratusan sapinya akibat penyakit misterius.
Keluhan itu menjadi pintu menuju labirin kelam yang disembunyikan perusahaan raksasa DuPont. Racun Perfluorooctanoic Acid atau PFOA, juga dikenal sebagai C8, bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan produk tahan lengket seperti Teflon, merembes ke tanah, masuk ke sumur warga, menumpuk di tubuh ternak, lalu mengintai kesehatan manusia. Dokumen internal yang ditemukan Bilott menunjukkan bahwa DuPont telah mengetahui bahaya PFOA selama puluhan tahun.
Perjuangan Bilott berlangsung hampir dua dekade. Ia memimpin class action yang mewakili ribuan warga, dan riset ilmiah menemukan keterkaitan PFOA dengan sedikitnya enam penyakit serius, termasuk kanker ginjal dan kanker testis. Selama proses panjang itu, Bilott menghadapi ancaman, tekanan finansial, penolakan dari dunia hukum yang dulu menjadi rumahnya, serta kesunyian yang melelahkan. Namun satu pelajaran berdiri paling kuat: dalam zaman modern, pahlawan bukan lagi mereka yang mengangkat senjata, melainkan mereka yang tetap berdiri ketika dunia meminta mereka menyerah.
Di Hari Pahlawan, kisah seperti ini mengingatkan bahwa keberanian tidak selalu bersifat heroik dalam arti tradisional. Kadang ia lahir dari keengganan untuk membiarkan sesuatu yang salah terus terjadi. Kadang ia lahir dari seorang manusia yang memilih tidak mundur.
Bali: Pulau Indah yang Mulai Sesak
Kisah Bilott mungkin terasa jauh. Namun jika kita menahan napas barang sebentar dan mendengarkan pelan, gema perjuangannya sampai juga ke Bali. Pulau yang memesona dalam brosur pariwisata ini menyimpan luka yang tidak selalu dibicarakan.
Gunung sampah tumbuh lebih cepat daripada kemampuan kita menguranginya. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kewalahan. Pantai-pantai tertutup serpihan plastik. Sungai berubah menjadi jalur pelarian sampah, sementara laut mengembalikannya ke daratan seperti mengirim pesan yang selama ini diabaikan. Di balik kilau pariwisata, plastik dari hotel dan restoran menunggu giliran menjadi bagian dari angin yang membawa aroma tak sedap.
Selain sampah, krisis air mengetuk semakin keras. Banyak sumur warga mengering, beberapa berubah asin akibat intrusi air laut. Eksploitasi air tanah oleh industri pariwisata menurunkan muka air tanah. Subak yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan ekologis Bali mulai kehilangan ritmenya. Di beberapa titik, pipa hotel terasa lebih berkuasa daripada akar padi.
Pembangunan melaju tanpa selalu memandang peta rawan bencana atau kearifan Tri Hita Karana. Ruang resapan hilang, tebing ditebang, lembah dikapling, dan tanah yang dahulu sakral perlahan tersingkir oleh halaman parkir.
Penjaga yang Lahir dari Krisis
Di tengah kecemasan itu, anak-anak muda Bali memilih untuk tidak tinggal diam. Mereka memungut, menyortir, memetakan, mendata, memotret, dan mengadvokasi. Mereka mengubah Instagram menjadi ruang kelas publik. Mereka membuat video pendek yang tidak hanya viral, tetapi menggugah kesadaran.
Mereka menggelar aksi bersih pantai, membangun bank sampah berbasis desa, merancang teknologi daur ulang, dan memelopori gerakan zero waste yang mendorong pengurangan sampah hingga mendekati nol.
Dan berdiri paling depan dari gelombang perubahan itu adalah dua remaja Bali: Melati Wijsen dan Isabel Wijsen. Pada 2013, ketika Melati berusia 12 tahun dan Isabel 10 tahun, mereka mendirikan gerakan Bye Bye Plastic Bags (BBPB). Dari ruang kelas sekolah mereka di Canggu, mereka memulai petisi, kampanye edukasi, aksi jalanan, hingga advokasi kebijakan.
Perjuangan mereka akhirnya ikut mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menerbitkan aturan pelarangan kantong plastik sekali pakai. Dari dua anak yang merasa tidak punya kekuatan, lahirlah gerakan besar yang menggema sampai forum-forum internasional.
Generasi ini menjadi penjaga yang lahir dari krisis. Mereka tidak menunggu pahlawan. Mereka memilih menjadi pahlawan itu.
Etika yang Menjadi Nafas
Perjuangan mereka menemukan pijakan filosofis yang kokoh. Aldo Leopold, dalam mahakarya A Sand County Almanac yang memuat esai fundamental Land Ethic, pernah mengingatkan bahwa manusia bukan pemilik alam, melainkan bagian kecil dari jaring kehidupan yang luas. Ia menulis, “Dalam memandang setiap masalah, sebaiknya tidak hanya memikirkan apa yang menguntungkan dari segi ekonomi, tetapi juga apa yang benar dari segi etika.”
A. Sonny Keraf, dalam Etika Lingkungan Hidup, memperkuatnya dengan konsep ekosentrisme. Alam, katanya, harus dipandang sebagai subjek yang memiliki martabat, bukan objek yang bebas dieksploitasi. Keraf menegaskan, “Prinsip ini menuntut kita memandang alam sebagai subjek yang wajib dihormati, bukan hanya objek eksploitasi.”
Gerakan anak-anak muda Bali adalah wujud langsung dari etika itu. Mereka bergerak bukan untuk pujian, melainkan karena mereka tahu pulau ini tidak akan punya masa depan jika tidak dijaga sejak hari ini.
Hari Pahlawan dan Pembacaan Baru
Hari Pahlawan kerap membawa imaji masa lalu: bambu runcing, barisan pejuang, dan tanah yang dipertahankan dengan darah. Namun zaman berubah. Musuh juga berubah. Tidak lagi berwujud kolonialisme, tetapi berwujud kehancuran ekologis yang datang perlahan dan tanpa suara.
Karena itu, kita perlu membaca ulang kata pahlawan.
Pahlawan masa kini mungkin tidak memakai seragam. Mereka tidak berbaris. Mereka tidak berada di bawah komando. Mereka bekerja dalam senyap, memunguti sampah, mengawal literasi lingkungan, dan menjaga keseimbangan yang rapuh antara pembangunan dan kelestarian.
Dan perjuangan itu tidak tanpa risiko. Banyak pegiat lingkungan di berbagai daerah menghadapi intimidasi, tekanan sosial, bahkan kriminalisasi. Praktik ini dikenal sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP, gugatan yang bertujuan membungkam kritik dan melemahkan gerakan publik. Ketika ini terjadi, negara harus hadir sebagai pelindung, bukan penonton. Ruang aman bagi aktivis lingkungan adalah bagian dari syarat dasar Bali untuk tetap hidup.
Hari Pahlawan adalah waktu yang tepat untuk menyebut mereka dengan nama yang seharusnya: pahlawan. Tidak perlu menunggu sejarah menuliskannya. Mereka sudah menjalani tugas itu.
Bali, pulau yang dihormati melalui upacara-upacara untuk menjaga keseimbangan, membutuhkan pahlawan baru. Dan pahlawan itu sudah ada. Mereka adalah anak-anak muda yang memilih jalan sunyi, berdiri di antara gelap dan terang, menjaga harapan agar tanah ini tetap bernapas.
Sebab tanah yang hidup adalah bentuk kemerdekaan yang paling hakiki. (*)
Menot Sukadana