Podiumnews.com / Aktual / Politik

Vonis 14 Bulan Pelaku Tabrak Maut UGM, Hukum Dinilai Cedera

Oleh Nyoman Sukadana • 09 November 2025 • 05:35:00 WITA

Vonis 14 Bulan Pelaku Tabrak Maut UGM, Hukum Dinilai Cedera
ILUSTRASI: Timbangan keadilan yang pincang. Nyawa manusia dipertaruhkan, namun vonis 14 bulan memicu luka keadilan publik dan pertanyaan moral negara. (podiumnews)

JAKARTA, PODIUMNEWS.com – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, melayangkan kritik keras terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, yang menjatuhkan vonis 1 tahun 2 bulan (14 bulan) penjara kepada Christiano Tarigan, pelaku penabrakan yang menewaskan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Vonis ringan ini dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan publik dan menunjukkan kegagalan hukum menghargai nyawa manusia secara setara.

“Ketika kehilangan nyawa hanya dibalas dengan hukuman setahun dua bulan, maka rasa keadilan publik menjadi luka yang terbuka. Ini bukan sekadar soal hukum positif, tapi soal moral negara dalam melindungi warganya,” kata Abdullah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan

Pengadilan Negeri Sleman sebelumnya memvonis Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan, pengemudi BMW yang menabrak dan menewaskan mahasiswa UGM, Argo Ericko Achfandi, di Jalan Palagan Tentara Pelajar. Selain hukuman 14 bulan penjara, pelaku juga dikenakan denda sebesar Rp12 juta.

Putusan yang dibacakan pada Kamis (6/11) tersebut menuai perhatian publik lantaran lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta hukuman 2 tahun penjara.

Abdullah menegaskan bahwa meski vonis tersebut sah secara prosedural, namun secara substansi keadilan tidak terpenuhi. “Vonis ringan ini tidak hanya melukai keluarga korban, tapi juga tak mencerminkan keadilan. Putusan ini memperlihatkan betapa sistem peradilan pidana kita masih gagal memberi efek jera bagi pelaku dan penghormatan bagi nyawa manusia,” tegas politisi Fraksi PKB ini.

Desakan Usut Dugaan Manipulasi Fakta

Selain vonis yang ringan, Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI tersebut juga menyoroti adanya dugaan penggantian pelat nomor kendaraan pelaku sesaat setelah kecelakaan. Dugaan ini, menurut Abdullah, telah menimbulkan persepsi publik bahwa ada upaya mengaburkan fakta hukum.

“Tindakan sekecil apa pun dalam proses hukum harus dianggap serius. Kalau dugaan manipulasi fakta tidak dituntaskan, publik akan menganggap hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” jelasnya.

Menyikapi hal ini, Abdullah mendorong agar kasus tersebut menjadi momentum untuk merevisi kebijakan pemidanaan dalam Undang-Undang Lalu Lintas. Ia berpendapat bahwa kelalaian yang mengakibatkan kematian seharusnya dikategorikan lebih berat dengan batas minimum hukuman yang menjamin penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.

“Keadilan tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus dirasakan oleh keluarga korban dan diyakini oleh publik. Jika vonis ringan terus berulang, maka hukum kehilangan makna moralnya,” tutup Abdullah.

(riki/sukadana)