WALHI Tuduh COP 30 Dikuasai Korporasi Fosil
JAKARTA, PODIUMNEWS.com - WALHI menuding Konferensi Perubahan Iklim COP 30 di Belem, Brasil, telah berubah menjadi arena lobi korporasi setelah lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil tercatat diberi akses ke ruang perundingan. Temuan Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menyebutkan delegasi Indonesia bahkan membawa 46 pelobi fosil yang ikut mengintervensi pembahasan aturan pasar karbon dalam Pasal 6.4.
Data tersebut dinilai menunjukkan negara-negara peserta COP memberi ruang istimewa kepada perusahaan-perusahaan besar untuk mempengaruhi kebijakan iklim global. WALHI menilai praktik itu berpotensi melemahkan standar perlindungan lingkungan serta memungkinkan proyek offset karbon berisiko tinggi tetap dijalankan.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menyebut COP 30 telah bergerak menjauh dari tujuan keadilan iklim karena terkooptasi kepentingan industri energi kotor.
“Fakta ini membuktikan negara telah diambil alih oleh korporasi. Aturan pasar karbon dilonggarkan agar para pebisnis fosil dapat dengan mudah meng-offset emisi sekaligus meraih keuntungan dari bisnis karbon. Tidak ada agenda keselamatan rakyat dan lingkungan dalam misi delegasi Indonesia,” ujar Uli melalui siaran pers, Senin (17/11/2025).
WALHI menilai kondisi itu memperburuk lambannya kemajuan global sejak kesepakatan Paris pada COP21. Laporan World Meteorological Organization (WMO) bahkan mencatat rata-rata suhu global pada 2024 telah mencapai 1,55 derajat Celsius di atas periode praindustri. Situasi tersebut dinilai menjadi bukti bahwa solusi iklim tidak bisa diserahkan pada pihak yang justru menjadi penyebab krisis.
Di Indonesia, seruan kritik terhadap COP 30 disuarakan WALHI bersama jejaring dan komunitas di delapan provinsi. Mereka menilai keterlibatan korporasi fosil dalam pembahasan pasar karbon berpotensi membahayakan ruang hidup masyarakat yang selama ini berada di garis depan krisis iklim.
Dalam pandangan WALHI, perdagangan karbon tidak menyelesaikan persoalan karena tidak menyasar penurunan emisi langsung dari sumber utama, termasuk industri pertambangan dan energi yang masih mengandalkan pembangkit berbasis batu bara.
WALHI mendesak pemerintah kembali berpihak pada rakyat dengan mengakui hak masyarakat adat, perempuan, nelayan, petani, serta kelompok rentan lain dalam penyusunan kebijakan iklim. Organisasi itu menekankan perlunya perubahan sistem ekonomi politik agar tidak lagi dikendalikan oleh kepentingan korporasi.
“Kami tidak mau terlambat menyelamatkan kehidupan. Itu sebabnya kami menyuarakan Kembali ke Rakyat Kembali ke Akar sebagai seruan global dalam COP 30 ini,” kata Uli.
WALHI juga memperingatkan bahwa kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat Celsius berpotensi memicu kekeringan ekstrem bagi ratusan juta orang, degradasi lahan, penurunan produksi pertanian, hingga ancaman sosial ekonomi sebagaimana diperingatkan IPCC. Negara diminta segera menghentikan dukungan terhadap solusi iklim palsu dan mengedepankan langkah nyata pengurangan emisi dari industri.
(riki/sukadana)