Podiumnews.com / Kolom / Opini

Perlukah Konten Kreator Budaya Bali Memiliki Sertifikasi?

Oleh Nyoman Sukadana • 17 November 2025 • 20:32:00 WITA

Perlukah Konten Kreator Budaya Bali Memiliki Sertifikasi?
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

LEDAKAN konten digital tentang adat dan budaya Bali dalam beberapa tahun terakhir telah menciptakan ruang baru yang penuh dinamika. Media sosial dipenuhi video, mulai tentang makna canang sari, struktur desa adat, hingga filosofi hidup orang Bali. Siapa pun bisa membuat konten, dan siapa pun bisa mengulas ritual yang oleh masyarakat adat dijaga dengan ketelitian yang diwariskan turun-temurun. Fenomena ini sebenarnya membawa dua sisi. Di satu sisi, ia memperluas jangkauan edukasi budaya, memperkenalkan Bali melalui cara yang lebih informal dan mudah diakses. Namun di sisi lain, tidak sedikit konten yang memelintir makna, menyederhanakan konteks, bahkan menyebarkan kekeliruan yang kemudian dianggap sebagai kebenaran.

Dalam situasi seperti ini, muncul sebuah pertanyaan penting yang semakin relevan: perlukah seorang konten kreator yang mengulas adat dan budaya Bali memiliki sertifikasi layaknya pemandu wisata? Pertanyaan ini tidak sederhana, sebab ia bersentuhan langsung dengan dua hal mendasar dalam kehidupan demokratis, yaitu kebebasan berekspresi dan tanggung jawab pengetahuan.

Pemandu wisata diwajibkan memiliki sertifikasi karena mereka berinteraksi langsung dengan wisatawan dan membawa identitas daerah. Namun konten kreator menghadirkan pengaruh yang tidak kalah besar. Jangkauan mereka bahkan bisa lebih luas. Satu video TikTok dapat ditonton jutaan orang di berbagai negara dan membentuk persepsi tentang Bali yang belum tentu benar. Di era ketika popularitas lebih didengar dibanding otoritas, fungsi edukasi budaya berpindah dari ruang kelas dan komunitas adat menuju layar ponsel yang digenggam siapa pun. Karena itu, wajar jika muncul kekhawatiran tentang otoritas palsu yang sering hadir dalam konten budaya.

Banyak konten budaya di media sosial terlihat meyakinkan, padahal hanya hasil rangkuman cepat dari internet atau asumsi pribadi. Sebuah video tentang makna banten atau tahapan upacara bisa tampil seolah disampaikan oleh seorang ahli, padahal isinya tidak sesuai praktik adat di Bali. Masalahnya bukan semata pada kesalahan informasi, tetapi pada dampaknya. Informasi budaya yang salah dapat melukai nilai dan merusak pemahaman masyarakat. Lebih jauh lagi, kekeliruan yang viral sulit diperbaiki. Ia membentuk persepsi publik dan menjadi kebenaran baru yang tidak berbasis tradisi.

Dalam kondisi seperti ini, sertifikasi sebenarnya dapat dipikirkan sebagai upaya memberikan standar etika dan bukan sebagai pembatas kebebasan. Sertifikasi tidak harus berupa kewajiban hukum. Sertifikasi dapat berbentuk pengakuan komunitas, bersifat sukarela, dan diberikan kepada konten kreator yang memiliki pengetahuan dasar serta pemahaman etis tentang adat Bali. Dengan begitu, sertifikasi tidak membatasi siapa pun untuk berkarya, tetapi memberi ruang bagi publik untuk membedakan mana konten yang dapat dijadikan rujukan dan mana yang tidak.

Konsep sertifikasi ini dapat dianalogikan sebagai bentuk penghormatan. Kreator yang bersertifikat menunjukkan bahwa ia telah belajar, berdialog, dan memahami nilai adat yang diulasnya. Mereka bukan sekadar pembuat konten, tetapi bagian dari upaya menjaga pengetahuan. Sertifikasi dapat meliputi pelatihan sederhana tentang etika pengambilan gambar upacara, pemahaman fungsi banten, dasar-dasar liturgi, hingga pengetahuan tentang keberagaman adat antardesa adat. Masyarakat Bali memiliki filosofi desa kala patra yang menentukan makna setiap prosesi. Satu desa tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi seluruh Bali. Ketidakpekaan terhadap prinsip ini sering membuat konten kreator dianggap tidak menghormati keragaman adat setempat.

Risiko yang muncul jika konten budaya diproduksi tanpa pengetahuan tidak bisa dianggap kecil. Distorsi budaya dapat menjadi masalah serius. Ketika sebuah narasi salah dianggap benar oleh publik luas, reputasi adat yang telah dijaga ratusan tahun bisa tercederai. Selain itu, ruang sakral yang seharusnya dihormati berubah menjadi latar konten. Banyak ritual direkam tanpa seizin prajuru atau tanpa pemahaman bahwa ritual tertentu tidak boleh dipublikasikan. Ada pula potensi konflik sosial ketika konten kreator bersinggungan dengan desa adat karena ketidaktahuan batasan.

Sertifikasi dapat menjadi jalan tengah antara kebebasan berekspresi dan kewajiban menjaga warisan budaya. Sertifikasi dapat dikelola oleh organisasi adat, lembaga budaya, atau komunitas penggiat tradisi. Sertifikasi tidak harus diatur negara dan tidak harus membatasi kreativitas. Publik tetap bebas memilih. Namun ketika seseorang ingin dikenal sebagai penyampai pengetahuan budaya, sudah selayaknya ia memiliki dasar pengetahuan yang benar. Hal ini justru melindungi kreator dari kesalahan fatal, sekaligus memberikan nilai tambah bagi karya mereka. Bahkan industri pariwisata Bali dapat bekerja sama dengan kreator bersertifikat sebagai penyampai informasi budaya kepada wisatawan melalui platform digital.

Pada akhirnya, isu sertifikasi bukan semata soal aturan. Isu ini menyentuh hal yang lebih dalam, yaitu bagaimana kita menjaga warisan pengetahuan Bali agar tidak terkikis oleh arus digital yang serba cepat. Adat Bali bukan hanya estetika dan ritual. Ia adalah struktur pengetahuan yang kompleks, terikat pada sejarah, ruang, dan keyakinan. Karena itu, ia memerlukan penghormatan. Kebebasan berekspresi tidak boleh mengorbankan kearifan.

Jika suatu hari sertifikasi konten kreator budaya diterapkan dengan cara yang inklusif, sukarela, dan berbasis edukasi, ia akan membawa manfaat besar. Sertifikasi dapat menjadi pagar moral, bukan pagar pembatas. Ia mengingatkan kita bahwa budaya bukan sekadar bahan konten, tetapi pusaka bersama yang harus dijaga kedalamannya. Kreator boleh datang dari mana saja, tetapi ketika mereka berbicara tentang Bali, mereka seharusnya melakukannya dengan hormat, cermat, dan jujur.

Karena generasi mendatang akan mewarisi apa yang hari ini kita biarkan beredar sebagai pengetahuan. Bali terlalu kaya untuk ditafsirkan secara sembarangan. Dan jika ingin budaya tetap utuh dalam ingatan publik, maka pengetahuan harus menjadi fondasi, bukan sekadar niat baik atau keinginan untuk viral. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis & Pegiat Media di Bali)