Podiumnews.com / Kolom / Opini

Strategi Digital Pemerintah Bali di Era AI

Oleh Nyoman Sukadana • 26 November 2025 • 15:53:00 WITA

Strategi Digital Pemerintah Bali di Era AI
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

STRATEGI digital pemerintah daerah (Pemda) di Bali tengah memasuki fase yang tidak lagi hanya soal memperbarui website, merapikan tata letak halaman, atau membuat akun media sosial yang aktif. Era kecerdasan (AI) buatan mengubah cara masyarakat mencari informasi. Tidak lagi sekadar mengunduh dokumen, tetapi menanyakan langsung kepada mesin, dan berharap jawaban ringkas, akurat, dan resmi. Dalam konteks ini, Pemda di Bali harus mulai menyadari bahwa otoritas digital bukan lagi pilihan, tetapi keharusan strategis.

Hari ini, informasi tentang Bali tidak hanya dicari oleh manusia, tetapi juga oleh algoritma. Mesin seperti Google, Gemini, ChatGPT, Bing AI, dan ratusan model kecerdasan lainnya sedang mempelajari tentang Bali melalui sumber-sumber digital. Pertanyaannya, dari mana mesin mendapatkan data itu. Apakah dari situs resmi pemerintah Bali, atau justru dari blog pribadi, forum wisata, hingga media luar yang belum tentu akurat. Jika situs pemerintahan tidak menyediakan data yang bisa dibaca mesin, maka mesin akan mengutip sumber lain dan membentuk narasi sendiri.

Padahal, domain pemerintahan Indonesia, khususnya yang berdomain go.id, memiliki otoritas tinggi dalam lanskap digital global. Dalam pandangan mesin pencari, domain pemerintah mengandung nilai keahlian, otoritas, dan kepercayaan, sehingga sangat layak dijadikan sumber utama. Namun potensi besar ini belum dimanfaatkan secara optimal. Website pemerintah di Bali masih menyimpan dokumen penting dalam format PDF statis, arsip gambar, atau narasi panjang yang sulit dibaca algoritma. Informasi seperti peraturan, data APBD, prosedur layanan publik, atau data wisata seharusnya tidak hanya diunggah, tetapi juga disajikan dalam format yang terstruktur dan bisa dipahami mesin.

Karena di era AI, mesin tidak membaca dokumen, tetapi membaca data.

Transformasi data menjadi langkah paling penting. Pemerintah Bali perlu mulai memberi label digital terhadap setiap informasi, menggunakan struktur data berbasis schema markup. Peraturan daerah dapat diberi label sebagai Regulation, data APBD sebagai Budget, layanan publik sebagai GovernmentService, dan profil wilayah sebagai AdministrativeArea. Dengan cara ini, AI akan mengenali konten di situs pemerintah sebagai data resmi, dan menjadikannya rujukan utama saat menjawab pertanyaan publik. Inilah yang disebut otoritas digital.

Tidak kalah penting adalah kebijakan open data. Pemerintah tidak cukup hanya mengunggah dokumen, tetapi harus menyediakan data melalui API, CSV, atau JSON agar bisa digunakan oleh akademisi, pengembang lokal, jurnalis data, hingga model AI untuk menciptakan layanan dan analisis baru. Jika data kunjungan wisata, sebaran UMKM, atau indeks kemiskinan tersedia secara terbuka, maka lahirlah ekosistem digital yang sehat dan partisipatif. Pemerintah tidak hanya menjadi pemilik data, tetapi juga penyedia ruang inovasi.

Selain website, media sosial pemerintah juga memiliki peran penting. Bukan sekadar untuk publikasi, media sosial harus menjadi sensor sosial yang mampu mendeteksi isu, aspirasi, dan keluhan publik secara cepat. Dengan bantuan AI, analisis sentimen dapat dilakukan secara otomatis untuk membaca suasana sosial. Pertanyaan publik yang berulang dapat ditangani chatbot layanan publik yang aktif 24 jam, menjawab lebih dari 80 persen pertanyaan rutin seperti jadwal pelayanan, prosedur izin usaha, hingga informasi wisata. Dari interaksi ini, pemerintah dapat melihat persoalan publik yang paling nyata dan merespons lebih cepat.

Namun dalam seluruh aktivitas sosial digital, pemerintah harus memastikan satu hal penting: setiap informasi yang disampaikan melalui media sosial tetap mengarah kembali ke situs resmi pemerintah. Inilah konsep deep link, yang memperkuat otoritas situs pemerintah, sekaligus mendidik publik untuk merujuk pada sumber resmi. Dengan cara ini, pemerintah tidak hanya hadir di media sosial, tetapi tetap menjaga posisi sebagai pemilik otoritas kebenaran digital.

Dalam jangka panjang, pemerintah Bali perlu memandang situs go.id bukan lagi sebagai etalase, tetapi sebagai benteng kredibilitas. Ketika hoaks dan disinformasi semakin mudah diproduksi oleh AI, situs pemerintah yang terstruktur dan terpelihara akan menjadi titik paling kuat untuk menghadirkan data yang sah dan terpercaya. Itulah yang akan membedakan pemerintah sebagai sumber kebenaran dibanding sekadar penyebar informasi.

Strategi digital pemerintah Bali pada akhirnya bukan soal teknologi, tetapi soal kepercayaan. Negara hadir bukan hanya melalui bale banjar dan kantor pelayanan, tetapi juga melalui halaman digital yang hidup, akurat, dan dipercaya publik. Bali memiliki peluang untuk menjadi pelopor otoritas digital daerah di Indonesia. Modal budayanya kuat, citranya mengglobal, dan datanya menarik perhatian dunia.

Tinggal satu pertanyaan tersisa. Apakah pemerintah siap mengelola dan merawat otoritas digital itu, atau membiarkan narasi tentang Bali ditulis oleh pihak lain. (*)

Menot Sukadana (Jurnalis dan  penggagas Podium Ecosystem: Media, Consulting, Lifestyle & Community)