Podiumnews.com / Kolom / Opini

Memaknai Sila Ke-lima: ‘Mang Datim’

Oleh Podiumnews • 03 September 2021 • 19:58:03 WITA

Memaknai Sila Ke-lima: ‘Mang Datim’
Lambang sila ke lima, Pancasila. (Foto: Istimewa)

“Untuk membentuk suatu sistem berkeadilan sosial dan terwujudnya keadilan sosial, diperlukan kesadaran konstitusional yang tinggi yang dapat melahirkan bureaucratic political commitment, political will, political courage dan capacity to implement”  Sri Edi Swasono.

 

Sebut saja, Mang Datim, seorang pekerja lepas di sebuah pabrik di bilangan Bekasi Utara Kota Bekasi. 10 tahun lebih, Dia telah bekerja di pabrik makanan ringan untuk diekspor. Pendapatan dan karirnya, sejak Dia bekerja hingga sekarang tak beranjak naik signifikan. Masih tetap “ngontrak” sepetak rumah, walau Dia masih bisa menabung untuk rumahnya di kampung Ciamis Jawa Barat. Nasib yang sama dirasakan anak dan menantunya, tetap “ngontrak”.

Bosnya yang punya pabrik, bisa jadi sudah mendapatkan revenue (laba perusahaan) yang berlimpah. Memang tak ada kewajiban laporan hasil laba perusahaan kepada Mang Datim atau publik. Perusahaan pribadi ko! Semoga tetap bayar pajak!

Jika dibuat kurva antara revenue Mang Datim dan pemilik pabrik, kurva revenue Mang Datim dalam 10 tahun bergerak hampir stabil di angka dua dan tiga (digaris tegak lurus- vertikal, untuk mewakili pendapatan dalam juta rupiah), dengan jangka waktu 10 tahun di (garis datar – horizontal, untuk mewakili waktu capaian dalam tahun). Sementara kurva revenue pemilik pabrik bergerak naik dengan konstan.

Imajinasi perbandingan gambar kurva penghasilan/revenue Mang Datim dan Bos perusahaanya jauh terlihat tak seimbang. Ada gap-jurang pemisah. Padahal keduanya memiliki hubungan kerja yang intens. Gap pendapatan antara buruh dan majikan tersebut bisa juga terjadi di banyak perusahaan. Salahkah? Tentu tidak! Bagi Mang Datim, tetap bersyukur karena masih bisa bekerja dan memiliki penghasilan walau tak besar. Bagi Bos perusahaan, bisa memberi lapangan pekerjaan kepada karyawannya. Lalu apa yang menjadi masalah?

Hubungan industrial antara pemilik modal dan buruh/ pekerja kadang menyisakan kesenjangan. Walau masih ada hubungan simbiosis mutualisme. Kesenjangan tersebut ada pada hak-hak pekerja yang tak seluruhnya terakomodir dalam kebijakan pemerintah. Bisa jadi dalam kebijakan perusahaan pun, tak termaktub. Kesenjangan dimana bandul kebijakan lebih condong pada pemilik modal dan Multinational Corporate (MNC). Antara kebijakan menarik investasi/investor, demi terbukanya lapangan pekerjaan versus kesejahteraan pekerja-upah murah. Kesenjangan kebijakan yang menandainya adanya ketidakadilan sosial.

Isu kesenjangan dan ketidakadilan sosial, yang selalu membuat gerah orang-orang seperti Sri Edi Swasono atau Kwiek Kian Gie atau lainnya yang memiliki kepekaan keadilan sosial. Sampai-sampai Sri Edi meradang dan membusai dalam bukunya:

“Untuk membentuk suatu sistem berkeadilan sosial dan terwujudnya keadilan sosial, diperlukan kesadaran konstitusional yang tinggi yang dapat melahirkan bureaucratic political commitmentpolitical willpolitical courage dan capacity to implement”.

Istilah yang bagi orang-orang seperti Mang Datim tak akan paham. Pembaca bisa tanya langsung sama ahli kebijakan publik atau cari di mesin pencari. Bisa jadi pemikiran Sri Edi Swasono terinspirasi oleh ayah mertuanya Mohammad Hatta, pemikiran ekonomi kerakyatan dan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial. Yang pasti, Sri Edi Swasono, professor penganut paham ekonomi strukturalis ini, menginginkan tak terjadi ketimpangan ekonomi struktural yang dialami rakyat. Ketimpangan akibat kebijakan yang tak pro rakyat.

Bagi Sri Edi, kebijakan ekonomi tak melulu bertumpu pada meningkatnya pendapatan negara. Atau tak berpijak kepada bertumpuknya modal pada sekelompok golongan. Lebih dari itu, pembangunan harus berpangkal kepada pandangan humanistic. Pembangunan bagi Sri Edi harus mengacu kepada peningkatan modal sosial-kultural masyarakat. Negara harus mampu memberdayakan dan meningkatkan nilai tambah modal sosio kultural masyarakat.

Pemikiran Sri Edi tampaknya tak terlalu laku. Persis seperti tak lakunya jualan “es doger” di musim hujan. Tak lakunya, lebih karena adanya pikiran yang corruptedCorrupted tidak hanya pada definisi soal indikator keberhasilan pembangunan. Namun juga corrupted dalam pengelolaan kebijakan dan anggaran. Definisi yang didesakkan kepada khalayak untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tak sebenarnya. Termasuk terwujudnya keadilan sosial yang masih jauh dari panggang ke api.

Keadilan sosial adalah salah satu tujuan dari Pancasila. Padahal ada orang luar negeri yang terkagum-kagum kepada Ideologi Pancasila karena mampu menyatukan perbedaan, namun terheran-heran kenapa Pancasila yang begitu hebat belum mampu mensejahterakan rakyatnya?

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan”. Cita-cita Seokarno ini mungkin masih harus menempuh jalan panjang.

 

Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggara Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal, dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 61, Bagian ke 2. 

. (BPIP/COK/RIS/PDN)