Podiumnews.com / Kolom / Opini

Memaknai Sila Ke-Lima: Angka Gini

Oleh Podiumnews • 08 Oktober 2021 • 20:33:54 WITA

Memaknai Sila Ke-Lima: Angka Gini
Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP. (Foto: Istimewa)

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr 59: 7)

 

Corrado Gini, seorang eugenicist -pendukung pemulihan ras manusia, asal Italia, mungkin tak pernah menyangka, teorinya dipakai untuk menentukan golongan kaya dan golongan miskin sekolong jagat. Teori yang ditulis tahun 1912 dalam bukunya “Variabilità e mutabilità” menjelaskan tentang teori kesenjangan dan distribusi kekayaan.

Walaupun mendukung fasis Mussolini, Corrado Gini tak setuju pengucilan Yahudi. Corrado - mengutak-ngatik perhitungan kesenjangan dengan kurva Lorenz. Sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan suatu variable pendapatan masyarakat dibandingkan dengan kemampuan daya beli masyarakat. Teorinya digunakan untuk memetakan kesenjangan atau mengukur ketimpangan pendapatan antar penduduk.

Penjelasannya begini. Rasio Gini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh di suatu wilayah. Ukuran Rasio Gini antara 0 dan 1. Rasio Gini bernilai 0 artinya terjadi pemerataan sempurna, sedangkan rasio Gini bernilai 1 artinya terjadi ketimpangan sempurna. Kategori ketimpangan rendah terjadi jika rasio gini berada diantara 0 dan 0,3. Kategori ketimpangan moderat terjadi jika rasio gini berada diantara 0,3 hingga 0,5, sedangkan kategori ketimpangan tinggi terjadi apabila rasio gini berada di atas 0,5.

Menggunakan teori Gini, Bank Dunia menilai Indonesia belum bisa menurunkan ketimpangan. Lihat saja laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Keuangan. Untuk Rasio Gini perkotaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,399, naik dibanding Rasio Gini Maret 2020 sebesar 0,393 dan Rasio Gini September 2019 yang sebesar 0,391. Sedangkan Rasio Gini perdesaan pada September 2020 tercatat sebesar 0,319, naik dibanding Rasio Gini Maret 2020 sebesar 0,317. Perbedaan tiga digit dibelakang 0 menunjukkan angka jutaan manusia Indonesia yang rentan miskin bahkan jatuh miskin. Tak percaya? Silahkan tanya sama kementerian keuangan atau BPS.

Sebenarnya yang menarik, bukan pada angka-angka yang dihasilkan dari teorinya Corrado Gini. Justru yang menarik adalah laporan Bank Dunia: ketimpangan ekonomi di Indonesia terjadi karena konsentrasi kekayaan di segelintir orang.

Tengok data Global Wealth Report (GWR) yang dikeluarkan perusahaan investasi global, Credit Suisse, tahun 2018. Menutur Data GWR, bahwa 85,4% (145,41 juta jiwa) penduduk dewasa Indonesia memiliki kekayaan di bawah US$ 10 ribu atau Rp 150 juta dengan kurs Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Kemudian 13,7% (23,32 juta jiwa) memiliki kekayaan antara US$ 10 ribu-100 ribu, lalu 0,8% (1,39 juta jiwa) memiliki kekayaan US$ 100 ribu-1 juta dan 0,1% (89 ribu jiwa) dengan kekayaannya di atas US$ 1 juta.  0,1 % dari penduduk Indonesia memiliki kekayaan sama dengan kekayaan ratusan juta rakyat Indonesia. Dan konon yang 0,1 % orang yang memiliki kekayaan tersebut terakumulasi pada empat orang kaya di Indonesia. Tak tahu siapakah mereka.

Pusing kita membaca angka-angka itu. Apalagi teori trickle down effect -orang miskin menunggu tetesan dari  0,1 % orang super kaya, yang tak kunjung sampai. Karena cuma “tetesan”, menguap di tengah jalan. Atau berputing beliung di seputarnya saja. Menjadi investasi baru yang menguasai hajat hidup orang banyak. Bukan permodalan yang “digrojogan” ke 85 % lebih manusia Indonesia.

Masyarakat miskin hanya menunggu belas kasihan orang kaya. Ini tak beradab dan tak berkeadilan sosial. Sebab kebanyak jumlah orang yang 0,1 % tersebut, bisa jadi memilih belanja,liburan dan investasi di luar negeri.

Tak pandailah kita menginterpretasikan angka-angka itu dengan kenyataan sulitnya mendapat kerja dan perbaikan kesejahteraan. Bahkan jadi kuli pun susah. Sepertinya data GWR tak menyentuh orang-orang seperti Mang Datim buruh pabrik harian atau Bang Zaenal tukang becak atau masyarakat miskin dan termiskin yang sering di ekspos di acara televisi. Jumlah terbesar dari orang-orang yang hidup di Bumi Manusia Indonesia berpendapatan di bawah Rp 20 ribu perhari. Seperti Mang Datim dan kawan-kawan.

Sumber kekayaan dikuasasi oleh segelintir orang. Mereka memiliki akses yang hampir tak terbatas terhadap berbagai sumber daya alam dan perbankan. Sementara Mang Datim, buruh pabrik, Bang Zaenal tukang becak di gerbang perumahan Duta Harapan Kota Bekasi dan puluhan juta buruh dan tani lainnya tak punya akses sedikitpun.

Inilah yang menyebabkan kesenjangan peluang dan ketimpangan kesejahteraan. Kesenjangan yang merapuhkan 200 juta masyarakat miskin menghadapi guncangan ekonomi. Karena kekayaan dan peluang serta dukungan hampir hanya bisa diakses atau dikuasai oleh pemilik modal. Ini kesenjangan nyata yang melahirkan ketidakadilan sosial.

Ketimpangan kesejahteraan dan distribusi kekayaan lebih disebabkan karena akses yang sangat terbatas pada kelompok masyarakat rentan. Masyarakat miskin, hidup dan tumbuh dalam ketidakadilan. Ketidakadilan struktural atas akses terhadap sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan. Yang menabalkan mereka tetap pada garis kemiskinan dan menetapkan rasio Gini tetap tak mau turun tahta.

Ketidakmerataan distribusi kekayaan dengan tak memberi peluang (akses) kepada masyarakat rentan untuk berdaya dan berdikari. Perputaran uang (puting beliung modal) hanya terjadi dilingkungan orang kaya saja. Dan ini memunggungi surah Al-Hasyr ayat 7:

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”

Ketimpangan itu menahbiskan ketidakadilan sosial bagi masyarakat miskin. Dan mendaulatkan “Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin”. Lagu yang diciptakan -si Raja Dangdut pada album Soneta Group volume 11. Direkam Yukawi Record pada tahun 1980 dan dirilis pada tahun 1981.

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, bahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan” kata Soekarno. Mimpi Soekarno yang tak kunjung wujud. Selama rakyat jelata tak dapat akses pada sumber  kesejahteraan, tak ada keadilan sosial.

Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP, Jakarta, (7/10/2021) dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 66, Bagian ke 7, Memaknai Sila Ke-Lima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia “Angka Gini.” (COK/RIS/PDN)