Podiumnews.com / Kolom / Opini

Memaknai Sila Kelima: 'Kemiskinan Ekstrem'

Oleh Podiumnews • 15 Oktober 2021 • 19:52:51 WITA

Memaknai Sila Kelima: 'Kemiskinan Ekstrem'
Kang Marbawi (Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP). (Foto: Istimewa)

“27,54 juta penduduk Indonesia,  tergolong miskin ekstrem. Dan telah 76 Tahun kita merdeka”

Kita tak tahu, bagaimana perasaan Margono Yuwono kepala Badan Pusat Statistik (BPS)  ketika melaporkan kemiskinan Ekstrem di Indonesia pada ahir Agustus lalu. Sedihkah? Atau biasa-biasa saja? Tak tahulah. Kita juga tak tahu, perasaan yang dilapori Margono. Dihadapan para anggota dewan yang mulia dan berlimpah fasilitas, Margono menjelaskan tingkat kemiskinan ekstrem pada 2021 diperkirakan akan meningkat 4% pada 2021, dibanding tahun 2020 yang hanya  3,8%.

4 % dari jumlah 272.229.372 jiwa dikatagorikan miskin ekstrem yaitu orang yang hanya punya penghasilan kurang dari Rp. 350 ribu perbulan. Dan 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Angka tersebut diprediksi Margono akan mengalami kenaikan seiring pandemi.

Seolah tak mau kalah dengan peningkatan kemiskinan ekstrem, jumlah orang kaya Indonesia di masa pandemi pun, meningkat. Tengok laporan Credit Suisse. Jumlah orang Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari USD 1 juta atau setara Rp14,49 miliar ada sebanyak 172.000 orang pada tahun 2020. Angka itu bertambah sebanyak 62,3 persen dibandingkan tahun 2019 yang hanya 106.215 orang. Perbandingan angka yang bagai dasar terdalam Palung Marianas di Samudra Pasifik dengan birunya langit luar angkasa yang tak terjangkau.

Sayang Margono tak menjelaskan kenapa di masa pandemi, yang kaya dan yang miskin sama-sama jumlahnya bertambah. Dan tak tanya, apakah anggota dewan yang terhormat juga terdampak pandemi? Dan masuk golongan mana? Tak tahulah. Karena pasti tak ada yang berani bertanya kepada anggota dewan yang terhormat.

Perbedaan antara kenaikan signifikan orang kaya dan kemiskinan ekstrem tersebut menurut Robert Michels bisa jadi dikarenakan menguatnya hukum besi oligarki’ (iron law of oligarchy), di lingkar kekuasaan.

Pria berkumis tebal melintang, Robert Michels, sosiolog Jerman yang lahir di Italia tahun 1876 ini menulis buku, Political Parties (1911).  Robert mendadarkan kekuasaan elit tak terbatas adalah hukum besi, iron law of oligarchy. Teorinya ini memungkinkan kekuasaan akan bertumpuk pada sekelompok orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan (oligarkhi). Kekuasaan yang menguasai massa dan kebijakan.

Dua kutub (oligarkhi/superkaya dan miskin ekstrem) yang tak mungkin bertemu, berjalan dipendulum nasib masing-masing. Kekuasaan oligarkhi memiliki kesempatan untuk menggemukkan angka kekayaannya dengan mempengaruhi kebijakan. Sementara orang-orang miskin semakin terseret ke jurang Palung Marianas, hampir tak tertolong. Dihantam ombak pandemi yang membuat mereka tak berkutik. Terhempas kedasar kemiskinan ekstrim.

76 tahun kita merdeka, ada 4 % rakyat dari jumlah rakyat Indonesia yang masih menjadi tanggungjawab kita bersama. Agar mereka memiliki kesempatan untuk merasakan keadilan sosial. Keadilan sosial yang mendewasakan. Keadilan sosial yang bisa diwujudkan oleh yang mulia anggota dewan dan para orang superkaya di Indonesia. Juga oleh penguasa. Karena keadilan sosial adalah hak asasi 272 juta rakyat Indonesia. Termasuk guru honorer yang tak lulus PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

 

Oleh: Kang Marbawi (Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP) dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke-67, Memaknai Sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,’ Kemiskinan Ekstrem’, Jakarta, (15/10/2021)

(COK/RIS/PDN)