Podiumnews.com / Kolom / Opini

Pancasila Ada Dimana?

Oleh Podiumnews • 02 November 2021 • 21:40:23 WITA

Pancasila Ada Dimana?
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Hampir 17 tahun -hingga sekarang tahun 2021, saya menjadi pengguna setia kereta listrik (KRL) sebagai moda transportasi untuk berangkat dan pulang kerja.  Setidaknya saya mengikuti denyut warna-warni kehidupan di KRL. Sebelum tahun 2010, kehidupan di KRL adalah sub komunitas sosial tersendiri.

Era sebelum tahun 2010, ada dua jenis moda transportasi perkotaan berbasis rel, di Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok dan Tangerang), kereta listrik (KRL) dan kereta diesel (KRD). KRD biasanya dari Stasiun Jakarta mengantar penumpang sampai ke Stasiun Cikarang. Pulang-Pergi (PP). Komunitas pengguna moda kereta Jabodetabek menyebut KRD dan kereta lokal jurusan Jakarta Kota-Purwakarta adalah kereta “odong-odong”. Entah kenapa disebut demikian.

Saya adalah pengguna setia KRL/KRD dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Gang Sentiong atau di Stasiun Pasar Senen. Lalu nyambung menggunakan metromini ke Cikini. Pulangnya pun demikian. Rute itu kemudian berubah menjadi melewati Stasiun Cikini. Entah tahun berapa perubahan rute tersebut, mungkin antara tahun 2016-2017. Tentu ini membuat saya senang karena dekat dengan sekolah. Kebetulan sekolah dimana saya mengabdi dekat Stasiun Cikini.

Hampir di setiap stasiun, pemandangan berdesakan para penumpang menunggu KRL datang, menjadi hal biasa. Jejalan penumpang di setiap stasiun yang dilewati KRL atau KRD, seolah beban yang didesakkan ke lambung gerbong KRL atau KRD.

Bak air bah yang tak tertahan oleh perut gerbong KRL, penumpang meluber hingga ke atap gerbong, pintu-pintu dan sambungan gerbong.Yang tak kebagian masuk ke lambung gerbong dan punya nyali, memilih nangkring di atap gerbong atau bergelantungan di pintu dan di sambungan gerbong. Pokoknya yang penting kebawa. Tak masalah, posisi terjepit badan orang atau dagangan tukang asongan, tukang ngamen baik pengamen solo maupun group seperti paduan suara lengkap dengan perangkat musiknya. Juga rela berbagi bau keringat dan panas. Tak ada protokol kesehatan COVID-19, karena waktu itu memang belum “ramai” COVID-19. Juga tak ada protokol keselamatan.

Jangan membayangkan pintu gerbong KRL atau KRD berfungsi dengan baik. Atau sejuknya Air Conditioner (AC). Pintu Gerbong KRL/KRD sudah tak sudi menutup atau membuka daun pintunya dengan setia di setiap stasiun. Karena daun pintu gerbong dan AC itu sudah sejak mula “almarhum” tak berfungsi. Entah kenapa? Juga tak diperbaiki. Dan ini menjadi berkah bagi “bonek” penumpang KRL yang berani bergelantungan di pintu-pintu gerbong. Juga pedagang kipas tangan.

Seolah masing-masing sudah saling mengerti dan toleran. Saling memberi ruang sedikit ketika mau lewat. Dan tak masalah jika didesak-desak karena memang, jumlah penumpang yang melimpah ruah.

Ada kehidupan sosial tersendiri, jika memperhatikan perilaku penumpang KRL waktu itu. Setiap penumpang biasanya memiliki komunitas sendiri-sendiri. Komunitas penumpang tersebut terjadi karena kesamaan tujuan, pekerjaan, atau kesamaan istiqomah di gerbong tertentu atau juga komunitas atap gerbong. Agar bisa saling melindungi dari desakan penumpang yang naik di setiap stasiun. Atau alasan lainnya, seperti teman main “gaple”. Ini biasanya bagi penumpang kereta lokal Jakarta Kota-Purwakarta. Atau “fair” kecil-kecilan.

Kehidupan penumpang KRL atau KRD atau kereta lokal menjadi sebuah sub komunitas tersendiri. Komunitas yang terbentuk hanya ketika di KRL/KRD. Terutama pada saat berangkat atau pulang kerja. Tak jarang mereka juga melakukan pertemuan di luar jam kantor atau disaat libur kerja.

Riuhnya puluhan tukang asongan yang lalu-lalang menjajakan dagangannya, nyanyian tukang ngamen dengan segala alat musik, pengemis, di tengah jalan penumpang adalah sub sosial penumpang KRL/KRD. Semua saling mengerti dan memberi ruang barang sedikit. Walau kadang terselip juga orang-orang yang tak punya hati, mencari nafkah dengan merugikan orang. Gerbong KRL/KRD adalah lahan kerja dan lahan nafkah bagi beberapa komunitas.

Sub komunitas penduduk gerbong KRL/KRD yang saling berbagi, menyapa dan peduli. Memberi tempat duduk bagi orang-orang tertentu yang memang lebih memerlukan. Toh, masih ada juga yang cuek! Toleran dengan sedikit ruang sempit untuk penumpang lewat dan berbagi tempat berpijak.

Ada aktualisasi nilai Pancasila di gerbong KRL/KRD ketika mereka bersama sebagai sub komunitas sosial warga gerbong KRL/KRD. Budaya memberi tempat duduk bagi yang lebih membutuhkan ini, kemudian di institusionalisasi oleh manajemen KRL dengan himbauan flayer yang lebih tegas dan ditempel di kaca-kaca jendela gerbong.

Namun sub komunitas ala penumpang KRL/KRD era sebelum tahun 2010 mulai hilang. Sub komunitas yang penuh kehangatan saling menyapa, dan peduli mulai tergerus. Saat ini, seolah penumpang KRL -KRD telah lama digusur untuk efisiensi, adalah individu-individu dengan dunia masing-masing. Dunia yang tak terkoneksi satu sama lain sesama penumpang KRL.Individu yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Atau karena memang dilarang bicara karena protokol COVID-19?  Entahlah.

Untungnya masih ada flayer “Mohon Kesadaran Untuk Memberikan Tempat Duduk Kepada Penumpang Yang Lebih Membutuhkan” dan gambar “Tempat Duduk Prioritas”. Juga Gerbong Prioritas Perempuan. Ada ruh Pancasila di flayer itu!

Oleh: Kang Marbawi (Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Non Formal Informal BPIP)

. (COK/RIS/PDN)