WACANA penghapusan pemilihan langsung gubernur dan jabatan gubernur yang diusulkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menuai beragam komentar termasuk dari Presiden Joko Widodo. Sebagaimana diketahui pada Senin (30/1) lalu, Wakil Ketua Korkesra DPR RI sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar Muhaimin Iskandar mengemukakan bahwa partainya sedang mengkaji peniadaan jabatan kepala daerah setingkat gubernur. Ia menjelaskan peniadaan jabatan gubernur karena pada dasarnya fungsi itu terlampau tidak efektif dan disertai alokasi anggaran besar. "Kami sedang mematangkan kajian dengan para ahli. Tahap pertama ditiadakan karena fungsi gubernur hanya penyambung antara pemerintah pusat dan daerah," kata Muhaimin saat memberikan sambutan pada Sarasehan Nasional Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta. Perlu kajian mendalam Menanggapi itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa mengatakan wacana penghapusan jabatan gubernur perlu kajian mendalam. Hingga saat ini Komisi II DPR belum ada usulan untuk membahas hal tersebut. Menurutnya, usulan tersebut baru akan dikaji di Komisi II DPR jika sudah disampaikan secara resmi. "Di Komisi II DPR belum ada wacana soal penghapusan gubernur. Ini kan ada karena Cak Imin (Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar) yang mewacanakan. Nanti kita kaji tentang posisi gubernur dalam konteks pemerintahan kita. Sampai hari ini belum ada. Tapi kalau wacana ini nanti diusulkan secara resmi oleh Fraksi PKB kan tentu kita harus kaji " kata Saan dalam keterangan tertulis, Rabu (1/2) di Jakarta. Tak jauh beda, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera juga mengatakan bahwa usulan penghapusan jabatan setingkat gubernur menarik untuk didiskusikan dan harus dikaji dengan seksama. Mardani berpendapat bahwa fokus dari usulan ini adalah bagaimana caranya agar otonomi daerah dapat berjalan dengan efektif. “Idenya saya sebut mengejutkan tetapi menarik untuk didiskusikan. Karena fokusnya kalau buat saya gimana cara agar otonomi daerah ini bisa betul-betul efektif. Karena sekarang ini antara pusat, provinsi, kabupaten, kota ada ketidaklarasan,” ujar politisi Fraksi PKS ini dalam keterangannya, Jumat (3/2) di Jakarta. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga turut menanggapi usulan Cak Imin soal peghapusan pemilihan calon gubernur dan jabatan gubernur. Menurut Presiden Jokowo, untuk mengubah suatu kebijakan harus melalui kajian yang mendalam dan perhitungan serta kalkulasi yang jelas. “Semua memerlukan kajian yang mendalam. Jangan kita, kalau usulan itu, ini negara demokrasi boleh-boleh saja tapi perlu semuanya kajian, perlu perhitungan, perlu kalkulasi,” ujar Presiden Jokowi usai mengunjungi Pasar Baturiti, pada Kamis (2/2) di Tabanan. Presiden Jokowi juga menyebut beberapa hal yang perlu diperhitungkan dan menjadi kajian untuk menghapus jabatan gubernur. Mulai dari tingkat efisiensi hingga rentang kontrol apabila jabatan gubernur dihapuskan. “Apakah bisa menjadi lebih efisien? Atau nanti rentang kontrolnya terlalu jauh dari pusat langsung ke misalnya bupati, wali kota terlalu jauh? Spend of control-nya yang harus dihitung semua,” terang Presiden Jokowi. Gubernur masih dibutuhkan Di sisi lain, Saan Mustopa menilai jabatan gubernur masih diperlukan sebagai perpanjangan dari pemerintahan pusat. Menurutnya, birokrasi pemerintahan dari pusat ke daerah akan terlalu jauh jika langsung ke tingkat kabupaten/kota. "Tentu itu agak rumit menjangkaunya kalau langsung. Maka ada yang namanya gubernur. Kalau ada gubernur kan makin efektif," ujarnya. Ia juga menegaskan, posisi gubernur memegang peranan penting dalam sistem pemerintahan. "Tinggal sekarang kita lihat efektivitasnya saja ke depan. Menurut saya, kita masih memerlukan posisi itu. Tinggal bagaimana kita bicarakan terkait dengan efektivitas dari pemerintahan provinsi. Ini yang paling penting," terangnya. Sulit diwujudkan Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai, usulan Cak Imin soal peghapusan pemilihan calon gubernur dan jabatan gubernur sulit untuk diwujudkan. Menurutnya, jabatan gubernur diatur oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, untuk mewujudkan usulan tersebut, konstitusi harus diubah. "Sedangkan amendemen konstitusi di tengah situasi saat ini hanya akan membuka kotak pandora bagi munculnya isu-isu kontroversial lainnya. Bukan suatu pilihan yang momentumnya tepat," kata Titi. Titi mengatakan, kalau yang dipersoalkan Cak Imin adalah soal efektivitas kewenangan gubernur, hal itu sejatinya berada pada ranah pengaturan di tingkat undang-undang. Jika kewenangan gubernur dirasa belum efektif, bisa dilakukan penyesuaian pada level undang-undang untuk menyelaraskannya. Sementara itu, Pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan curiga Cak Imin sebenarnya tidak paham dengan kewenangan gubernur. "Cak Imin mungkin belum paham atau enggak baca undang-undang (UU)," ujar Djohan. Djohan mengatakan, ketika sudah memasuki tahun politik, lebih baik untuk tidak membuat kebijakan yang aneh-aneh. Ia mengingatkan bahwa jabatan gubernur sudah ada sejak dulu. Indonesia memiliki daerah besar dan daerah kecil. Oleh karena itu perlu memiliki perwakilan di masing-masing daerah. Di sisi lain, di masing-masing kabupaten, kota, dan provinsi ada juga dewan yang ditempatkan untuk menciptakan adanya demokrasi. "Jadi, tentu itu enggak boleh kita abaikan apa yang sudah dipikirkan Founding Fathers," kata Djohan. Ia mengungkapkan, dengan asas otonomi, kabupaten/kota dan provinsi bisa mengurus urusannya masing-masing. Oleh karena itu, dipilihlah gubernur, wali kota, hingga bupati di daerah masing-masing secara demokratis untuk mengurus daerahnya masing-masing. (ris/sut)