PUTUSAN Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan penundaan tahapan Pemilu 2024 menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat. Putusan yang diketok palu pada Kamis (2/3) itu terkait gugatan perdata yang diajukan Partai Prima disebabkan tak lolos verifikasi partai politik (parpol). Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mohammad Mahfud MD mengimbau KPU RI agar mengajukan banding perihal putusan PN Jakarta Pusat tersebut. "Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis itu bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," ujar Mahfud melalui siaran pers, Kamis (2/3) di Jakarta. Mahfud menegaskan, secara logika hukum KPU pasti menang, karena PN tidak memiliki wewenang untuk membuat vonis tersebut. "Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di PN," katanya. "Nah, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya," ujar Mahfud. Mantan ketua MK itu mengatakan, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. "Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu," ujar Mahfud. Menurut Mahfud, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. "Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU," kata Mahfud. Mahfud mengingatkan, kalau penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Melawan Kostitusi Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati menilai putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk menunda tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2024, dan memulainya dari awal termasuk perbuatan melawan konstitusi. "Sudah jelas dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 disebutkan bahwa pemilu digelar secara berkala dalam lima tahun sekali. PN seolah tidak paham konstitusi," kata Neni melalui keterangan pers, Kamis (2/3). Di samping itu, kata Neni, putusan PN Jakpus juga bertentangan dengan Pasal 431 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal tersebut menyebutkan pemilu tidak dapat dilaksanakan atau dilakukan pemilu lanjutan apabila terjadi sejumlah hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya. "Frasa dalam UU Pemilu sudah sangat jelas, pemilu dapat dihentikan apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya," katanya. Neni menambahkan, sengketa partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi pada sub-tahapan penetapan peserta Pemilu 2024, semestinya diajukan oleh penggugat kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau pengadilan tata usaha negara (PTUN). "Sejak kapan PN memiliki kewenangan untuk menghentikan proses pemilu secara nasional dan dengan begitu saja mengubah jadwal pemilu?," ujar Neni. Neni mengingatkan agar KPU tidak terjebak dalam putusan PN Jakpus, karena tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 harus tetap dilanjutkan. "Saat ini, tahapan pemilu sudah memasuki pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih serta verifikasi faktual perseorangan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Putusan PN Jakpus akan membawa malapetaka untuk demokrasi ke depan dengan melanggar konstitusi. Secara prosedur, KPU memang perlu melakukan banding," tutur Neni. Belum inkracht Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wemenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). "Satu, putusan itu belum inkrah, kalau putusan belum inkrah maka kita tidak boleh berkomentar. Itu etikanya begitu ya," kata Edward, Jumat (3/3) di Jakarta. Wamenkumham yang akrab disapa Eddy itu menyatakan, pihaknya akan membiarkan perkara tersebut berjalan sampai betul-betul memiliki kekuatan hukum. "Bahwa pengadilan itu pada kekuasaan yudikatif (dan) perkara itu belum inkrah. Biarkanlah perkara itu berjalan sampai betul-betul dia sudah punya kekuatan hukum tetap, baru kita berkomentar," katanya. Tak jauh beda, Juru Bicara PN Jakpus Zulkifli Atjo juga menegaskan bahwa putusan gugatan Partai Prima terhadap KPU belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Zulkifli mengatakan, masih banyak ruang bagi pihak tergugat dalam hal ini KPU untuk melakukan upaya hukum lanjutan seperti banding dan kasasi jika tidak sependapat dengan putusan yang telah diketuk oleh majelis hakim tersebut. "Jadi upayanya itu ada banding, ada kasasi, ini bukan sengketa partai politik ya. Ini adalah sengketa gugatan melawan hukum,” kata Zulkifli seperti dikutip kompas.com, pada Kamis (2/3). “Saya dengar dalam putusan ini KPU sudah menyatakan banding. Tentu kita akan tunggu putusannya apakah Pengadilan Tinggi DKI sependapat dengan PN Jakarta Pusat kita tunggu lagi," ucapnya. Tahapan pemilu tetap jalan Ketua KPU RI Hasyim Asy`ari memastikan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 tetap dijalankan. Hal tersebut disampaikan Hasyim melalui keterangan persnya, terkait tanggapan atas putusan PN Jakpus untuk menunda proses Pemilu 2024, Kamis (2/3). "Di internal KPU, kami sudah rapat membahas substansi dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Hasyim. Menurut Hasyim, tanggapan atas putusan tersebut didasarkan oleh jadwal dan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah berkekuatan hukum. Yakni peraturan KPU tentang tahapan dan jadwal Pemilu 2024. "Dasar hukum tentang tahapan dan jadwal masih sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Itu sebagai dasar bagi KPU untuk tetap melaksanakan atau melanjutkan penyelenggaraan Pemilu 2024," kata Hasyim. Selain masih meneruskan tahapan penyelenggaraan Pemilu, Hasyim juga menyatakan KPU akan menempuh jalur hukum berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi. Menurutnya, KPU sebagai penyelenggara negara di ranah pemilihan umum, sudah teruji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal senada juga disampaikan Anggota KPU RI Idham Holik. “KPU RI akan banding atas putusan PN tersebut. KPU tegas menolak putusan PN tersebut dan ajukan banding,” kata Idham. Idham menegaskan, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah mengatur bahwa hanya ada dua istilah ihwal penundaan penyelenggaraan Pemilu. Istilah itu adalah Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan yang tertuang dalam pasal 431 hingga 433 UU Pemilu. Pasal 431 UU Pemilu menyebutkan Pemilu lanjutan digelar kala sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraaan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pelaksanaan Pemilu lanjutan dimulai dari tahap yang terhenti. Sementara itu, pasal 432 menjelaskan jika kejadian dalam pasal 431 mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan Pemilu susulan. Pemilu susulan ini dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan. Sebelumnya, PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU. Dalam amar putusannya, PN Jakpus meminta KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025. Gugatan perdata kepada KPU yang diputuskan pada Kamis (2/3/2023) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. (rik/sut)