DUNIA politik demokrasi adalah panggung persaingan citra untuk merebut simpati dukungan suara publik demi meraih kursi kekuasaan. Dalam politik demokrasi modern yang menganut sistem elektoral (pemilu), citra erat relasinya dengan bagaimana meraih mayoritas dukungan suara publik demi mencapai kursi kekuasaan yang dituju. Bahkan, dalam kotestasi panggung politik nasional, para kandidat yang bersaing memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi adalah ‘wajib hukumnya’ menggunakan konsultan politik dan komunikasi publik. Dari sinilah citra personal kandidat dipoles sedemikian rupa supaya disukai dan dipilih oleh publik sebagai pemilih. Kandidat pada posisi ini seolah telah menjadi produk dari bagian marketing politik. Sebagaimana halnya ilmu marketing pada bidang ekonomi, maka untuk memenangkan persaingan pasar dirancanglah berbagai strategi dan cara tertentu agar produk dapat diminati konsumen (pemilih). Salah satunya dengan menonjolkan keunggulan kandidat dan memoles sedemikian rupa guna menutupi kelemahan dimiliki. Maka kandidat sebagai produk yang ‘dijual’ supaya laku di pasaran, tak jarang dilakukan dengan upaya rekayasa semacam gimmick. Namun implikasi dari itu, seringkali citra kandidat yang ditampilkan ke hadapan publik telah berbentuk polesan, bahkan cenderung penuh kepalsuan, bagai pepatah indah kabar dari rupa. Sehingga mereka tidak lagi tampil menjadi otentik atau dirinya sendiri. Otentisitas, Kelemahan Jadi Keunggulan Sebetulnya, pada sejumlah kasus kotestasi panggung politik nasional, terjadi praktek pembalikan teori. Yaitu, justru bagaimana menjadikan kelemahan sebagai faktor keunggulan. Salah satu kasus yang sangat menonjol adalah pada kontetasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, yaitu bagiamana Joko Widodo (Jokowi) justru ditampilkan sebagai sosok ‘wajah ndeso’ dengan tagline: Jokowi adalah Kita. Pada kasus ini, Jokowi berhasil ditampilkan sebagai sosok yang berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan trah darah biru dinasti politik. Sehingga ia dianggap sebagai sosok kandidat yang sangat mengerti akan penderitaan rakyat. Karena ia adalah bagian dari rakyat itu sendiri. Ia lalu berhasil ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang sangat merakyat di tengah situasi kemuakan publik terhadap perilaku hedonis dan koruptif yang dipertontonkan para elit politik. Ia berhasil tampil total dengan baju kotak-kotak atau putih dengan lengan baju terlipat sebagai simbol seorang sederhana yang jujur juga pekerja keras. Bahkan kala menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia terlihat tak segan turun langsung ke gorong-gorong yang bau dan kotor. Kala itu, Jokowi pun berhasil merebut simpati publik Tanah Air yang bahkan menimbulkan eforia luar biasa di tengah masyarakat tentang telah lahirnya sosok pemimpin sebagai satrio piningit yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Alhasil, modal simbolik dan modal sosial yang ditampilkkan secara totalitas dan konsisten oleh dirinya itu, berhasil menghantarkan Jokowi menjadi presiden RI dua periode. Lalu pada Pilpres 2024, Probowo Subianto yang telah mengalami kekalahan tiga kali kontestasi perebutan kekuasaan tertinggi di Indonesia itu, secara samar-samar juga terlihat menggunakan strategi yang sama. Prabowo pada kasus ini terbilang sukses memecahkan mitos citra negatif yang selama ini melekat pada dirinya. Citra yang terkesan angker dan seram. Ia bisa dibilang berhasil menampilkan sisi humanis dirinya dengan membangun citra sebagai atasan yang humble terhadap Mayor Teddy sebagai ajudan pribadi notabena orang terdekatnya. Prabowo bahkan pada sisi tertentu dapat menampilkan sisi figur kebapakan. Selain itu, pada momen tertentu, Prabowo juga ditampilkan sebagai seorang lelaki penyayang binatang melalui hobinya memelihara hewan peliharaan terutama kucing. Yang kemudian memunculkan fenomena kucing bernama Bobby dari Kertanegara (sebutan kediaman Prabowo). Teranyar adalah munculnya sosok politisi PDIP Bambang Wiryanto alias Bambang Pacul yang mempopulerkan istilah ‘Korea’ (sebutan bagi mereka dari kalangan bawah bermental tahan banting yang sukses melenting meraih posisi ke atas pada kekuasaan maupun piramida sosial masyarakat). Ia yang berasal dari Jawa Tengah (Jateng) tampil di panggung politik nasional dengan gaya bicara (komunikasi publik) blak-blakan apa adanya terutama saat rapat Komisi III DPR RI dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD, beberapa waktu lalu. Bambang Pacul dengan gaya bicaranya yang apa adanya itu ternyata berhasil merebut simpati terutama kalangan Gen Z yang telah merasa muak dengan fenomena kepalsuan dipertontonkan elit politik saat ini. Dengan gayanya itu, ia justru malah dianggap sebagai simbol politisi yang berani jujur dan tampil apa adanya tanpa dibuat-buat hanya demi pencitraan diri. Publik Menyukai Kejujuran Secara sederhana, publik atau masyarakat Indonesia sebagai orang Timur sangat menjunjung tinggi serta menyukai nilai-nilai kejujuran atau lebih tepatnya apa adanya (otentik). Justru dengan citra otentik ditampilkan, politisi tidak berjarak dengan publik (audiens) pemilihnya. Ia juga mampu tampil sebagai pribadi yang utuh tanpa citra kepalsuan dibuat-buat. Bukankah kita sendiri juga menyukai produk yang asli bukan imitasi? (*) Penulis: I Nyoman Sukadana (pegiat media di Bali)
Baca juga:
Bebal