Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Melestarikan Metempang Gandong di Era Digital

Editor   |    07 Juni 2024    |   20:20:00 WITA

Melestarikan Metempang Gandong di Era Digital
Anak-anak pelajar SD di Buleleng memainkan permainan tradisional Metempang Gandung di saat acara Eksebisi Permainan Rakyat di area Pura Dalem Banyuning Timur, Buleleng, Jumat (7/6/2024). (foto/suteja)

KEMAJUAN era digital malah membuat anak-anak makin kecanduan gadget, hingga malas beraktivitas fisik. Permainan ketangkasan tradisional Metempang Gendong yang baik bagi tumbuh kembang anak justru perlahan terlupakan.

Untuk itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng terus berupaya melestarikan permainan tradisional Metempeng Gandong asal Kelurahan Banyuning, Kabupaten Buleleng, yang merupakan warisan budaya lokal tersebut.

Rencananya, permainan ini akan diusulkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) agar tetap lestari tidak punah dan mendapatkan pengakuan yang setara dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Sejarah dan Cagar Budaya, Nyoman Widarma Dinas Kebudayaan (Disbud) Buleleng saat acara Eksebisi Permainan Rakyat di area Pura Dalem Banyuning Timur, Buleleng, Jumat (7/6/2024).

Widarma mengungkapkan bahwa saat ini Buleleng telah memiliki 14 WBTB yang terdaftar, dengan berbagai macam genre seni pertunjukan dan permainan tradisional.

"Tahun lalu kita sudah daftarkan WBTB dari permainan tradisional yaitu Jaran Jaranan. Untuk permainan Metempeng Gandong, sekarang kita buat eksebisi dulu, kita gali sinopsis, cerita, dan video dokumentasinya. Setelah itu baru kita usulkan," jelas Widarma.

Dalam upayanya menjaga kelestarian permainan tradisional, Widarma mengajak seluruh generasi muda untuk tidak melupakan permainan tradisional di tengah gempuran permainan modern seperti gadget.

Menurutnya, permainan tradisional mengandung banyak nilai positif seperti olahraga fisik, kerjasama, kekompakan, dan rasa suka cita.

"Seperti yang bisa kita saksikan, fisik anak-anak zaman sekarang agak kurang kuat dikarenakan kurangnya olahraga fisik dalam kesehariannya. Mungkin nanti bisa diseimbangkan waktu gadget dan permainan olahraga seperti ini," tambah Widarma.

Sementara itu, Lurah Banyuning, Nyoman Mulyawan, mengatakan bahwa Metempeng Gandong dulunya sering dimainkan oleh remaja dan anak-anak di areal pura.

Namun, seiring berkembangnya zaman digitalisasi, para remaja di Kelurahan Banyuning kini tak lagi memainkan permainan yang menguji ketangkasan dan kecerdikan tersebut.

Mulyawan menjelaskan bahwa Metempeng memiliki arti melempar batu, sementara Gandong berarti digendong. Permainan ini dimainkan oleh dua anak yang sebelum memulai permainan melakukan suit jari untuk menentukan siapa yang digendong dan siapa yang menggendong.

Anak yang digendong memiliki kesempatan pertama untuk melemparkan sebilah batu pipih ke tanah dengan jarak yang ditentukan. Anak yang menggendong juga melemparkan batu pipih miliknya dengan syarat harus mengenai batu milik anak yang digendong. Jika berhasil, posisi keduanya bergantian. Namun, jika tidak berhasil, yang menggendong harus mengambil batu yang dilempar tadi sambil menggendong lawannya.

"Usulan penetapan Metempeng Gandong sebagai WBTB ini diharapkan mampu menghidupkan kembali permainan tradisional di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, serta melindungi kekayaan budaya lokal dari kepunahan," harap Mulyawan. (suteja)


Baca juga: Kisah Mistis Pelinggih Mobil di Desa Sangket