DI TENGAH hiruk-pikuk Kota Denpasar, ada seorang pengemudi ojek online yang diam-diam menyimpan dunia penuh warna. Ia bukan sekadar pekerja lepas, tetapi juga pelukis dan penyair yang terus berkarya di sela kesibukannya. Namanya I Putu Sumadana, namun publik seni lebih mengenalnya dengan nama pena Bonk Ava. Lahir di Denpasar pada 27 Juli 1987, Bonk Ava dikenal sebagai seniman yang menjadikan puisi dan lukisan sebagai media penyembuhan sekaligus ekspresi diri. Bagi pria 37 tahun ini, seni bukan semata kegiatan estetis, tetapi cara untuk bertahan dari luka batin, tekanan hidup, dan kompleksitas zaman. “Seni bagiku adalah ekspresi diri,” katanya pada Rabu (9/7/2025). Ia tak berbicara dengan lantang, tetapi jelas dari nada suaranya bahwa kalimat itu bukan sekadar slogan. Bagi Bonk, seni adalah ruang aman untuk menyalurkan berbagai rasa, seperti marah, sedih, kecewa, hingga rindu yang sulit diungkap secara verbal. “Apa yang kita rasakan, marah atau ide-ide dalam kepala, bisa kita tuangkan ke dalam karya,” ujarnya. Itulah sebabnya ia tak hanya menulis puisi, tetapi juga melukis. Ia percaya bahwa menyimpan emosi negatif terlalu lama bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. Maka, ia memilih jalan yang lebih sehat: berkarya. Meski aktif di dunia seni, Bonk mengaku tak terlalu tertarik mengikuti diskursus seni yang ramai dibicarakan. Ia lebih senang menjadi pengamat dan pekerja sunyi. “Sudah berpuluh tahun aku pergi pameran, baca karya teman, karya nasional. Tapi aku bukan kritikus. Aku lebih suka berkarya daripada ngomongin karya orang,” tuturnya. Karya-karyanya banyak lahir dari pengalaman pribadi dan lingkungan sekitar. Obrolan santai bersama teman, film yang ditontonnya, bahkan perdebatan kecil bisa menjadi inspirasi. Ia pernah merespons film The Hobbit lewat puisi karena tidak setuju dengan sikap salah satu tokohnya. Pada 2023, Bonk menerbitkan antologi puisi tunggal berjudul Roda Musim. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi bersama seperti Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta, Mengunyah Geram, Saron, dan Semesta Jiwa. Karyanya juga kerap tampil di media massa. Selain menulis, Bonk aktif mengikuti sejumlah pameran seni. Ia terlibat dalam Pameran Virtual Komunitas Perupa Tasikmalaya “Melawan Corona” pada 2020, Pameran “Silang Sengkarut” pada 2022, dan pameran bertajuk “EgalitArt” pada 2023 yang diadakan oleh Yayasan Banjar Global Nusantara. Ia juga diundang dalam acara melukis bersama seperti “Serupa” pada 2021 yang diselenggarakan oleh Jatijagat Kehidupan Puisi. Namun, semua pencapaian itu tidak serta-merta membuat hidupnya mudah. Sejak awal 2025, Bonk mengambil pekerjaan sampingan sebagai mitra pengemudi ojek online. “Agak sulit mengandalkan hidup dari kesenian, apalagi dari puisi dan lukisan,” katanya dengan jujur. Perkembangan teknologi yang pesat turut memengaruhi dunia seni. Bonk menyebut kehadiran artificial intelligence (AI) sebagai salah satu tantangan baru bagi seniman. “AI bisa bikin karya seni yang cantik, tapi AI nggak punya rasa seperti seniman,” ujarnya. Meski begitu, ia tidak menolak teknologi. Justru, ia memanfaatkannya sebagai alat bantu saat mengalami kebuntuan ide. “Kalau aku lagi stuck, aku pakai AI buat nanya. Tapi hasilnya nggak aku pakai mentah-mentah. Cuma sebagai pemicu aja,” katanya. Ia menekankan bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti. “Kita tetap harus sambungkan dengan pikiran dan perasaan kita sendiri,” tambahnya. Dalam dunia kepenyairan, Bonk juga menyuarakan kritik. Ia mempertanyakan tren penulisan puisi berdasarkan tema yang belakangan marak di antologi bersama. “Kenapa harus selalu tema?” katanya. Ia merasa banyak penyair zaman sekarang terlalu mengikuti selera redaktur atau pasar. Padahal, menurutnya, puisi yang kuat justru lahir dari pengalaman nyata. “AI bisa bikin puisi bertema serius. Tapi nggak bisa menggantikan puisi yang lahir dari luka atau cinta yang kita rasakan sendiri,” ujarnya. Ia percaya, kejujuran adalah inti dari puisi yang baik. Salah satu tempat yang sangat berpengaruh bagi Bonk adalah Rumah Berdaya Denpasar, sebuah komunitas untuk penyintas gangguan mental. Di sana, ia menemukan pendekatan melukis yang jujur dan spontan. “Kalau mereka mau lukis kopi, ya mereka lukis kopi. Nggak peduli bagus atau nggak. Mereka tulus melukis dari bawah sadar,” katanya. Ia mengaku belajar banyak dari teman-temannya di sana. Kini, bagi Bonk Ava, melukis dan menulis bukan hanya kegiatan seni, tetapi juga terapi. “Melukis itu untuk menenangkan diri dari pekerjaan, masalah sama orang tua, teman, dan sebagainya,” ujarnya. Ia percaya bahwa seni bisa membantu menyembuhkan luka batin yang tak bisa selalu dibicarakan. Di balik helm dan jaketnya, Bonk terus melangkah. Bukan hanya sebagai pengemudi ojek, tetapi sebagai seniman yang menyuarakan isi hati lewat warna dan kata. Ia tidak menjadikan seni sebagai alat pencitraan, melainkan sebagai ruang jujur untuk mengenal dan menerima diri sendiri. “Aku nggak bisa ninggalin kesenian yang sudah aku tekuni,” ucapnya pelan. Di tengah gempuran teknologi dan dinamika hidup, Bonk Ava tetap berkarya. Dari puisi ke kanvas, dari mural ke jalanan, ia terus melukis hidupnya. Satu demi satu, seperti doa yang perlahan membawa pulang rasa. (angga/sukadana)
Baca juga :
• Pagi Setelah Penyelamatan: Wajah-Wajah Pahlawan Pabuahan
• I Wayan Reken, Menjaga Jejak Islam di Bali Lewat Pena
• Sanur: Matahari Pertama Bali Modern