Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Pagi Setelah Penyelamatan: Wajah-Wajah Pahlawan Pabuahan

Editor   |    08 Juli 2025    |   15:57:00 WITA

Pagi Setelah Penyelamatan: Wajah-Wajah Pahlawan Pabuahan
Bupati Kembang Hartawan menyerahkan pengharagaan kepada nelayan dan relawan yang membantu evakuasi penumpang KMP Tunu Pratama Jaya, Selasa (8/7/2025). (foto/gembong)

LAUT di sepanjang Selat Bali biasanya jinak setelah tengah malam. Begitu pula malam Kamis, 3 Juli 2025, ketika perahu-perahu nelayan Dusun Pabuahan, sebuah kampung pesisir di Desa Banyubiru, Kecamatan Negara, bergerak pelan meninggalkan lampu-lampu dermaga. Bagi mereka, itu hanya malam biasa untuk mencari ikan menunggu fajar.

Sekira pukul 00.30 WITA, kilatan lampu darurat menyemburat di kejauhan diikuti teriakan minta tolong. Suara mesin kapal besar mendadak hilang. Para nelayan menajamkan pandangan dan, dalam sekejap, menyadari ada kapal penumpang karam. Tanpa berpikir panjang, mereka mengubah haluan. Malam yang tenang berubah menjadi malam penyelamatan.

Selat Bali masih berombak kecil. Dengan perahu kayu kecil, para nelayan merapat ke titik gelap tempat tubuh-tubuh manusia terombang-ambing. Tidak ada pelampung, tidak ada lampu sorot, hanya senter ponsel dan semangat menolong. Satu per satu korban ditarik, sebagian memeluk life-jacket, sebagian bertahan pada papan kayu.

Menjelang fajar, 12 nelayan berhasil membawa belasan penumpang ke pantai Pabuahan, sebagian selamat, sebagian sudah tak bernyawa. Di darat, pemuda desa dan relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah membantu mengevakuasi korban ke Puskesmas Negara dan RSU Jembrana.

Kini pagi kembali datang. Nelayan Pabuahan tetap turun ke laut. Angin pagi lembut menyapu pantai, seolah tak ada yang terjadi semalam. Tapi di warung kopi, di bawah pohon kelapa, dan di sudut-sudut perahu, cerita itu berputar pelan. Tentang malam yang tak direncanakan. Tentang nyawa yang diselamatkan.

KMP Tunu Pratama Jaya adalah kapal feri penumpang berkapasitas sekitar 300 orang yang melayani lintasan Ketapang-Gilimanuk. Rute ini dilayari lebih dari 50 kali per hari, menjadi nadi logistik dan mobilitas wisata Pulau Dewata. Menurut data Dinas Perhubungan Bali, kapal buatan 2009 itu menjalani docking rutin, namun Komite Nasional Keselamatan Transportasi kini menyelidiki dugaan kebocoran ruang mesin yang memicu kemiringan fatal.

Insiden besar terakhir di Selat Bali tercatat pada 2021 saat KMP Gerbang Samudra I terbakar. Sejak itu, isu keselamatan penyeberangan terus menjadi sorotan. Namun bagi nelayan lokal, keselamatan laut lebih sering bergantung pada naluri solidaritas dibanding teknologi.

Pabuahan berjarak sekitar 10 kilometer sebelah timur Pelabuhan Gilimanuk. Warganya mayoritas adalah nelayan tradisional yang hidup dari jaring payang dan pancing dasar. Laut bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga halaman depan. Setiap kali sirene kapal feri terdengar, mereka tahu arus ekonomi Bali dan Jawa sedang bekerja.

“Laut kasih ikan, kadang juga kasih tugas lebih besar,” kata seorang tetua desa. Filosofi itu diwariskan turun-temurun. Siapa pun yang melihat bahaya di laut, wajib menolong. Sebab besok lusa, nasib serupa bisa menimpa diri sendiri.

Empat hari setelah tragedi, Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan datang ke Pabuahan. Ia menyerahkan piagam, paket sembako, dan bantuan uang kepada 12 nelayan dan 10 relawan. “Tanpa dikomando, Bapak-bapak bergerak. Inilah jantung kemanusiaan Jembrana,” ucapnya.

Pemerintah Kabupaten berjanji memperkuat pelatihan keselamatan laut dan menyiapkan pos jaga cepat di Pabuahan. Basarnas Bali juga menyatakan akan memasang rambu maritim tambahan di perairan dangkal sekitar lokasi tenggelamnya kapal.

Di Selat Bali, kapal feri dan perahu nelayan berbagi ruang hidup. Tragedi Tunu Pratama Jaya mengingatkan bahwa teknologi dan regulasi belum cukup tanpa kesiapan masyarakat. Nelayan Pabuahan membuktikan bahwa keberanian bukan soal seragam, melainkan hati.

Malam itu mereka berangkat untuk mencari ikan. Pagi harinya mereka pulang membawa nyawa manusia. Mereka tidak meminta imbalan. Tapi kini, daerah dan bahkan negara, berutang kisah kepada para penjaga laut ini.

“Kalau sudah laut yang bicara, rasa takut kalah oleh rasa wajib menolong.”
Seorang nelayan penyelamat, Dusun Pabuahan. (*)

(gembong/suteja)

 

Baca juga :
  • I Wayan Reken, Menjaga Jejak Islam di Bali Lewat Pena
  • Sanur: Matahari Pertama Bali Modern
  • “Mamak Pesu Bapak Cemburu” Kembali dengan Sentuhan Baru