PERNYATAAN bekas Ketua KPU RI Hasyim Asy`ari yang justru merasa bersyukur dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), karena bisa terbebas dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU, adalah sikap kepongahan yang sangat mengecewakan publik. Hasyim Asy`ari bukannya malah menyesal dan meminta maaf, karena telah mengecewakan dan menyakiti perasaan publik Indonesia. Seharusnya sebagai pejabat publik, ia harus menunjukan sikap keteladanan. Pernyataan yang dilontarkan Hasyim itu tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang pejabat tinggi seperti dirinya. Parahnya lagi, ia dipecat oleh DKPP pada Rabu (3/7/2024) di Jakarta, karena kasus asusila. Menurut DKPP, J Kristiadi bahwa Hasyim terbukti sudah sejak awal mengincar korban untuk memenuhi hasrat seksualnya. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali dilaporkan, disidang dan dijatuhi sanksi oleh DKPP. Publik dibuat sungguh terpana, tak habis pikir. Bukan mengagumi keberanian DKPP akhirnya memecat Hasyim Asy`ari, melainkan merenungi sikap personal Hasyim Asy`ari, yang terkesan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sekali lagi, pernyataan bahwa dirinya justru bersyukur dipecat DKPP, karena terbebas dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU merupakan suatu pernyataan yang sulit diterima akal sehat. Bukankah tugas-tugas berat KPU sudah diketahuinya sejak awal? Bukahkah ia juga sudah sering diberi sanksi etik oleh DKPP? Mengapa menunggu dipecat, bukan memilih mengundurkan diri sejak awal ketika merasa tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang disebut berat itu, sekaligus kewajiban etiknya?. Sebelumnya, sudah dua petinggi negeri ini juga diberhentikan lantaran pelanggaran etik. Dalam waktu hampir bersamaan menimpa Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Firli Bahuri yang diberhentikan dari jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah petinggi lain juga diberhentikan karena kasus korupsi. Banyak hal-hal aneh bin ajaib terungkap di persidangan kasus korupsi para petinggi negeri tersebut yang memperlihatkan kekuasaan dimain-mainkan untuk kesenangan dan kemegahannya sendiri seolah-olah sah dan halal. Melihat fenomena akhir-akhir ini dari tindakan sejumlah petinggi negeri, dapat disimpulkan negeri ini miskin keteladanan. Sikap hipokrit, keengganan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, sikap feodalistik, masih sangat menonjol mewarnai kepemimpinan Indonesia. Meski presiden telah berganti-ganti, tapi penyakit mentalitas tersebut ternyata tak kunjung sembuh. Hanya satu cara revolusioner untuk mengubahnya yakni keteladanan pemimpin. Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis tak akan berubah tanpa keberanian pemimpin memberikan teladan. Pada 1977, Mochtar Lubis pernah melakukan kritik terhadap mentalitas manusia Indonesia,ia berpidato di Taman Ismail Marzuki. Pidato itu dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul "Manusia Indonesia (2001)". Mochtar Lubis mengkritik mental-kultural manusia Indonesia. Sastrawan yang juga jurnalis itu menjelaskan enam sifat manusia Indonesia yang umumnya negatif. Keenam sifat tersebut adalah: hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan bermental (karakter) lemah. Ketika pada 1982, Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali ”manusia Indonesia”, menurut catatan ST Sularto, dengan tegas Mochtar Lubis mengatakan tidak ada perubahan. Bahkan, menurut Mochtar Lubis, makin parah. (*) Oleh: I Nyoman Sukadana (pegiat media di Bali)
Baca juga:
Bebal