Pers Bali, Kebenaran atau Citra?
TANAH yang dulu dikenal sebagai kepingan surga, kini bergelut dengan realitas pahit. Banjir melanda, kemacetan mengular, tumpukan sampah menggunung, dan perilaku wisatawan asing yang meresahkan menjadi santapan sehari-hari. Di tengah gemerlap industri pariwisata yang menjadi urat nadi ekonomi, pers dihadapkan pada persimpangan dilematis.
Di era digital yang serba cepat ini, setiap berita, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk menyebar luas dalam hitungan detik. Dampaknya tak main-main, citra pariwisata yang selama ini dijaga mati-matian, bisa luluh lantak dalam sekejap. Bak pepatah lama, "nila setitik, rusak susu sebelanga."
Namun, menutup mata terhadap fakta bukanlah pilihan bijak. Persoalan yang dipendam, alih-alih menghilang, justru berpotensi menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak. Di sinilah, pers dituntut untuk memainkan peran layaknya pendulum keadilan, menakar kapan kebenaran harus diungkap dengan lugas, dan kapan penyampaian yang lebih bijak diperlukan.
Mengedepankan akurasi dan keberimbangan, tanpa terjebak dalam sensasionalisme, menjadi kunci utama. Pers juga perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku industri pariwisata, hingga masyarakat. Dialog konstruktif, bukan sekadar kritik pedas, diperlukan untuk mencari solusi terbaik.
Di tengah arus informasi yang deras, pers harus tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Mereka adalah pilar keempat demokrasi, yang bertugas menyampaikan fakta, bukan sekadar pemoles citra. Sebab, di era keterbukaan ini, kebenaran tak bisa lagi disembunyikan di balik retorika manis.
Pada akhirnya, citra pariwisata yang sejati dibangun di atas fondasi kejujuran dan transparansi. Pers memiliki peran penting dalam memastikan bahwa tanah ini tetap menjadi surga, bukan hanya dalam citra, tetapi juga dalam realitas. (*)
Oleh: I Nyoman Sukadana (Pegiat Pers di Bali)