Bicara Jujur, Bukan Poles Fakta
PARIWISATA Bali sedang tidak baik-baik saja. Narasi "penumpukan" turis di Selatan, yang dikonstruksi para pengambil dan pemangku kebijakan, hanyalah eufemisme untuk fenomena yang lebih kompleks: overtourism. Media asing dan domestik tidak buta. Mereka melihat, mencatat, dan melaporkan realitas yang kontradiktif dengan klaim "distribusi tak merata". Krisis kepercayaan publik pun tak terhindarkan.
Mari kita akui, fenomena ini melampaui sekadar statistik kunjungan. Ia menggerogoti esensi Bali sebagai destinasi budaya dan alam yang sakral. Wisatawan tak datang untuk terperangkap dalam kemacetan abadi atau menyaksikan tumpukan sampah. Masyarakat lokal, pemilik sah pulau ini, bukan sekadar pelengkap latar belakang industri pariwisata. Mereka berhak atas ruang hidup yang nyaman dan bermartabat.
Alih-alih menyangkal, pengambil dan pemangku kebijakan pariwisata Bali seharusnya mengakui adanya masalah, dan menggunakan istilah "overtourism parsial" sebagai titik awal. Namun, pengakuan ini harus disertai dengan tindakan nyata. Bukan sekadar memindahkan keramaian ke Utara atau Timur, melainkan merancang ulang model pariwisata yang lebih berkelanjutan.
Komunikasi Publik: Jembatan yang Retak
Di titik krusial ini, komunikasi publik yang dibangun pengambil dan pemangku kebijakan justru kontraproduktif. Data dan statistik disajikan tanpa konteks yang memadai, dialog dengan masyarakat lokal dan media pun cenderung formalitas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap otoritas pengelola pariwisata terus tergerus.
Padahal, komunikasi publik yang efektif adalah jembatan penghubung antara kebijakan dan penerimaan publik. Ia adalah instrumen untuk membangun konsensus, meredakan ketegangan, dan menggalang dukungan kolektif.
Tindakan Nyata, Bukan Retorika Hampa
Langkah pertama, hentikan simplifikasi masalah. Overtourism adalah fenomena multidimensional yang melibatkan interaksi kompleks antara faktor ekologis, ekonomi, dan sosio-kultural. Komunikasi publik harus mampu merefleksikan kompleksitas ini.
Kedua, libatkan masyarakat lokal sebagai pemilik sah destinasi. Dengarkan aspirasi mereka, akomodasi kepentingan mereka, dan posisikan mereka sebagai mitra strategis dalam pengembangan pariwisata.
Ketiga, bangun narasi yang kredibel dan koheren. Jangan sekadar menjual mimpi tentang `surga tropis`, tetapi juga mengartikulasikan komitmen terhadap pariwisata berkelanjutan.
Keempat, buktikan janji dengan tindakan nyata. Penegakan hukum yang tegas, pengelolaan sampah yang efektif, dan pengembangan infrastruktur yang berkelanjutan adalah fondasi utama untuk membangun kepercayaan publik.
Bali, di mata dunia, bukan sekadar pulau eksotis. Ia adalah laboratorium pariwisata global. Bagaimana Bali merespons tantangan overtourism akan menentukan citra pariwisata Indonesia di mata dunia. Dan di tengah pusaran permasalahan ini, komunikasi publik yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab adalah kompas yang akan menuntun Bali keluar dari labirin krisis.(*)
Oleh: I Nyoman Sukadana (Praktisi Pers di Bali)