Besakih, Titik Nol Peradaban Bebas Plastik
Editor |
03 April 2025 | 23:59:00 WITA
DI kaki Gunung Agung, Pura Besakih—ibu dari segala pura di Bali—kini berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap polusi plastik. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 08 Tahun 2025, bukan sekadar imbauan, melainkan sebuah deklarasi perang terhadap sampah plastik di kawasan suci tersebut. Langkah ini, meski terkesan keras, adalah keniscayaan di tengah darurat sampah plastik yang mengancam bumi pertiwi. Gubernur Wayan Koster, dengan ketegasannya, menetapkan "harga mati": pedagang tak boleh lagi menjajakan plastik sekali pakai, pamedek pun dilarang membawa masuknya ke area pura. Sanksi tegas menanti pelanggar. Bukan tanpa alasan, Besakih, sebagai jantung spiritual Bali, harus steril dari pencemaran. Ini bukan hanya soal kebersihan, melainkan juga soal menjaga kesucian alam yang menjadi sumber kehidupan. Langkah ini bukan tanpa risiko. Resistensi dari pedagang dan pamedek mungkin muncul. Namun, pemerintah provinsi telah menyiapkan dukungan dan edukasi, serta alternatif pengganti plastik yang ramah lingkungan. Lebih dari itu, ini adalah ujian bagi kesadaran kolektif masyarakat Bali. Mampukah mereka meninggalkan kebiasaan konsumtif dan beralih ke gaya hidup yang lebih berkelanjutan? Besakih, dengan segala kesakralannya, memiliki daya tarik yang kuat. Jika aturan ini berhasil diterapkan, ia akan menjadi model peradaban baru, di mana kesucian alam dan kesucian spiritual berjalan beriringan. Ini bukan hanya soal Bali, tetapi juga soal warisan yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang. Tentu, ini bukan akhir dari perjuangan. Perlu ada upaya berkelanjutan untuk memperluas gerakan ini ke seluruh Bali, bahkan Indonesia. Namun, langkah yang diambil di Besakih adalah titik awal yang penting. Ia adalah simbol harapan, bahwa perubahan bisa dimulai dari tempat yang paling suci. (*)
Baca juga:
Sasar Turis Berkualitas
