"Pasir Kuta merekam jejak dunia; dari deru ombak nelayan, bisik hippies, hingga ledakan pilu, sejarah terukir di pesisir." DAHULU Kuta hanyalah sepetak pesisir sunyi, di mana debur ombak dan desing angin menjadi melodi keseharian para nelayan. Jala-jala mereka ditebar, bukan untuk menjaring wisatawan, melainkan ikan-ikan yang menjadi penghidupan. Namun, roda zaman berputar, dan Kuta pun bermetamorfosis, dari kampung nelayan menjadi kawah candradimuka pariwisata internasional. Di balik gemerlap lampu resor dan riuhnya wisatawan, tersembunyi kisah tentang bagaimana Kuta terseret arus peristiwa dunia. Perang Vietnam, yang berkecamuk di seberang lautan pada era Perang Dingin, melahirkan generasi kontra-budaya yang dikenal sebagai "hippies" atau "Flower Generation." Mereka adalah kaum muda yang menolak nilai-nilai mapan, anti-kemapanan, dan mengecam perang. "Make love, not war," menjadi semboyan mereka, ungkapan penolakan terhadap perang dan kekerasan. Gelombang hippies ini pun menyebar hingga ke Kuta, yang pada saat itu masih merupakan desa nelayan yang tenang. Mereka mencari surga dunia di Pulau Dewata, menebar aroma kemenyan dan melodi gitar, mewarnai kehidupan pesisir yang tadinya tenang. Gaya hidup hippies, dengan kebebasan dan pemberontakannya, menyebar seperti virus, menjangkiti generasi muda Bali. Lahirlah "Armada Racun," sebuah geng anak muda yang bergaya nyentrik, mencerminkan perpaduan budaya Bali dan Barat. "Kami ingin bebas, kami ingin berbeda," ujar Wayan "Gondrong," salah satu anggota Armada Racun, dalam sebuah wawancara. Kuta pun menjadi panggung persilangan budaya, di mana tradisi dan modernitas berdansa dalam irama yang kadang sumbang, kadang harmonis. Namun, dunia terus berputar, dan Tragedi 9/11 mengguncang Amerika Serikat (AS), membawa dampak yang jauh hingga ke Kuta. Bali, yang dikenal sebagai Pulau Surga, menjadi sasaran aksi terorisme. Bom Bali I dan II meledak, merenggut nyawa dan melukai ratusan orang, menorehkan luka mendalam pada pariwisata Kuta. "Kami tidak pernah membayangkan Bali akan menjadi seperti ini," ujar seorang warga Kuta, dengan mata berkaca-kaca, saat mengenang peristiwa kelam itu. Kuta, yang dulunya adalah kampung nelayan yang tenang, kini menjadi kota wisata yang berdenyut kencang. Ia adalah cermin dari dunia yang terus berubah, di mana peristiwa-peristiwa internasional meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Di balik gemerlapnya, tersimpan kisah tentang bagaimana Kuta, seperti Bali, berdiri di persimpangan sejarah, di antara tradisi dan modernitas, di antara ketenangan dan kekerasan. (isu/suteja)
Baca juga:
Kontroversi Putusan Hakim Penundaan Pemilu