Podiumnews.com / Kolom / Opini

Kritik Paloh, Bikin Identitas Bali Hilang?

Oleh Editor • 04 April 2025 • 00:58:00 WITA

Kritik Paloh, Bikin Identitas Bali Hilang?
Ilustrasi: sejumlah turis mengendarai sepeda motor melewati jalan di sebuah kampung di Bali. (podiumnews)

KRITIK pedas Surya Paloh tentang infrastruktur Bali yang "tak berkembang optimal" selama 50 tahun, bak petir di siang bolong. Sebagai politisi dan pengusaha kakap yang bergelimang bisnis di Pulau Dewata, Paloh semestinya tak sekadar melempar batu di media. Alih-alih, ia bisa menggerakkan koneksinya di Jakarta, terutama di era Jokowi, saat ia berada di pusaran kekuasaan.

Namun, pertanyaan menggelitik muncul: mengapa kritik ini baru terlontar sekarang? Padahal, Paloh saban waktu hilir mudik Jakarta-Bali, tentu ia mafhum betul kondisi infrastruktur yang ia sebut "belum layak" itu. Benarkah demikian? Mengapa bukan sejak dulu, ia menyuarakan keprihatinannya? Apakah ini sekadar retorika politik, atau ada motif tersembunyi di baliknya?

Bali, dengan daya pikat kampung pantai tropis dan sawah-sawah asri, justru memikat wisatawan asing. Canggu dan Ubud, dengan jalan-jalan kampungnya yang sempit, menjadi magnet bagi mereka yang ingin merasakan "Bali yang asli". Bukan gedung-gedung beton dan jalan lebar yang membelah lahan produktif.

Justru, jika mau dibandingkan, infrastruktur jalan dan penataan ruang publik di Bali, sesungguhnya tak jauh beda dengan kota-kota wisata di negara-negara yang maju pariwisatanya semisal Pattaya di Thailand, atau bahkan beberapa wilayah di Jepang dan Korea Selatan. Di sana, jalan kampung dan suasana tradisional tetap terjaga, berdampingan dengan pariwisata yang berkembang.

Jalan lebar hanya akan mengundang bangunan beton, menyingkirkan sawah, dan melunturkan identitas Bali. Tentu, infrastruktur perlu pembenahan. Tapi, bukan dengan meniru kota metropolitan. Perlu ada keseimbangan antara pariwisata dan pelestarian alam serta budaya Bali. Paloh, dengan koneksinya, semestinya bisa mendorong solusi bijak, bukan sekadar melontarkan kritik pedas.

Ambisi Paloh memperlebar jalan dan membangun infrastruktur modern, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, mungkin meningkatkan aksesibilitas. Namun, di sisi lain, mengancam kearifan lokal, mengikis lahan produktif, dan merusak karakter Bali sebagai "desa tropis tradisional".

Persoalannya bukan sekadar soal jalan. Ini soal paradigma pembangunan. Bali, dengan identitas budayanya yang kuat, harus dijaga dari serbuan beton dan globalisasi yang seragam. Pariwisata yang berkelanjutan adalah yang menghormati tradisi, bukan yang menindasnya.

Surya Paloh, sebagai tokoh berpengaruh, seharusnya mengadvokasi pembangunan yang bijaksana, yang berdialog dengan alam dan budaya Bali. Kritik pedas saja tak cukup. Bali membutuhkan solusi yang holistik, yang menjaga keseimbangan antara modernitas dan tradisi. (*)

Oleh: I Nyoman Sukadana (Praktisi Media di Bali)