Ketika Like Membentuk Identitas Diri
REALITAS digital telah menjelma menjadi panggung utama bagi generasi Z di Bali. Di sana, identitas diri dibentuk, divalidasi, dan seringkali dikompromikan demi pengakuan virtual.
Paparan tanpa jeda pada gaya hidup yang dikurasi dengan apik memicu kecemasan kolektif, rasa tidak aman, dan dahaga akan validasi eksternal.
Layar gawai menjadi cermin ajaib yang menampilkan kehidupan yang tampaknya lebih indah dari kenyataan.
Kilauan perjalanan mewah, santapan lezat di restoran kelas atas, dan pencapaian instan selebritas digital menciptakan standar yang sulit dicapai.
Namun, di balik citra gemerlap itu, tersembunyi jurang pembanding yang dalam. Generasi muda di Bali, yang tengah berjuang mencari jati diri, terperangkap dalam siklus konsumsi yang tak berkesudahan.
Mereka membeli barang-barang yang tak dibutuhkan, mengejar tren yang cepat berlalu, dan mengorbankan stabilitas finansial demi pengakuan sesaat.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) merajalela, menghantui setiap unggahan, setiap notifikasi, dan setiap momen yang tak terdokumentasikan. Mereka takut tertinggal, takut tak dianggap, dan takut kehilangan identitas di dunia maya.
Namun, bukan berarti generasi Z tak memiliki daya lenting. Mereka adalah generasi yang lahir dan besar di era digital, mahir memanfaatkan teknologi untuk menyuarakan aspirasi dan membangun komunitas.
Mereka kritis terhadap informasi, selektif terhadap konten, dan aktif memperjuangkan isu-isu sosial.
Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana membimbing mereka untuk menavigasi labirin media sosial dengan bijak.
Memberi mereka bekal untuk membedakan antara citra dan realitas, antara kebutuhan dan keinginan, serta antara pengakuan virtual dan kebahagiaan sejati.
Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa. S.Pd Pekerja Media