Podiumnews.com / Kolom / Opini

Nasionalis Religius: Perpaduan Nilai Marhaen dan Ajaran Hindu

Oleh Editor • 10 April 2025 • 21:35:00 WITA

Nasionalis Religius: Perpaduan Nilai Marhaen dan Ajaran Hindu
: Putu Eka Sura Adnyana. (dok/pribadi)

KEHIDUPAN berbangsa dan bernegara, satu ideologis yang memadukan dua kekuatan besar: cinta tanah air dan keteguhan iman.

Inilah yang disebut sebagai nasionalis religius sebuah karakter yang tumbuh dari keyakinan bahwa membela negara adalah bagian dari pengamalan nilai-nilai agama.

Nasionalis religius memandang Indonesia bukan sekadar tanah kelahiran, tetapi amanah Tuhan yang harus dijaga dengan sepenuh hati.

Bagi mereka, nasionalisme bukan hanya kebanggaan atas simbol-simbol negara, tetapi juga kesediaan berkorban demi keutuhan dan kemaslahatan bangsa.

Di sisi lain, religiusitas bukan sekadar ritual ibadah, melainkan semangat moral dan etika yang menjiwai tindakan dalam kehidupan sosial dan politik.

Marhaenisme, gagasan besar yang dicetuskan oleh Bung Karno, lahir dari kesadaran akan penderitaan rakyat kecil kaum marhaen yang hidup dari keringatnya sendiri.

Marhaenisme menolak penindasan, menjunjung keadilan sosial, dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan. Ia bukan sekadar ideologi politik, tetapi semangat pembebasan, keberpihakan, dan pengabdian pada rakyat sebagai inti dari nasionalisme sejati.

Sementara itu, ajaran Hindu menawarkan landasan spiritual dan etika yang dalam. Konsep Dharma (kebenaran, kewajiban moral), Karma (hukum sebab-akibat), dan Tat Twam Asi (aku adalah engkau, engkau adalah aku) menjadi prinsip-prinsip yang menumbuhkan kesadaran sosial, empati, dan penghormatan terhadap sesama makhluk hidup.

Hindu mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan sebagai fondasi nilai yang luhur dan menyatu dengan semangat kebangsaan. Ketika marhaenisme dan Hindu berpadu dalam jiwa nasionalis religius, terbentuklah sebuah identitas yang kuat.

Seseorang yang memperjuangkan keadilan sosial dengan semangat ajaran Veda, yang membela rakyat bukan karena ambisi kuasa, tetapi karena panggilan dharma.

Ia menolak eksploitasi dan penindasan, tetapi menempuh jalan perjuangan dengan cinta kasih dan kesadaran akan kesatuan semua makhluk dalam menjalankan system politik yang baik dan benar.

Sebagaimana jika merujuk susastra Hindu, Santi Parwa LXII Halaman 147: Manakala politik telah sirna, Weda pun akan sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, dan semua kewajiban manusia akan terabaikan. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan; Pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan; Dan pada politiklah semua dunia terpusatkan (Ari Dwipayana, 1999:193)

Dalam konteks kebangsaan Indonesia, perpaduan ini menciptakan arah baru dalam pembangunan karakter bangsa. Nasionalisme tidak kehilangan sisi manusianya, dan agama tidak terjebak dalam dogma yang kaku.

Inilah wajah kebangsaan yang berakar pada nilai-nilai lokal, spiritualitas Nusantara, dan keberpihakan pada mereka yang paling membutuhkan.

Nasionalis religius dalam perpaduan nilai marhaenisme dan ajaran Hindu adalah pengabdi rakyat dan pemuja kebenaran. Ia bekerja untuk dunia, namun jiwanya tetap berpaut pada nilai-nilai suci Weda. (*)

Oleh: Putu Eka Sura Adnyana (Ketua Bidang Agama, Adat, Budaya DPD KNPI Bali)