Podiumnews.com / Kolom / Opini

Buruh Papan Tulis dan di Balik Mesin Produksi: Siapa yang Peduli?

Oleh Podiumnews • 02 Mei 2025 • 19:31:00 WITA

Buruh Papan Tulis dan di Balik Mesin Produksi: Siapa yang Peduli?
Putu Eka Sura Adnyana. (Foto: Dok/Pribadi)

PADA tanggal 1 Mei sebagai hari buruh dan 2 mei adalah hari Pendidikan nasional. Dua kelompok justru sering luput dari perhatian serius tapi senantiasa tercatat pada sistem kalender tahunan yaitu buruh pendidikan dan pendidikan buruh. 

Keduanya berada di sisi berbeda dari sistem pendidikan, namun mengalami ketimpangan, terpinggirkan, dimiskinkan, dan dilupakan, namun selalu menjadi wacana politik yang seksi disaat perhelatan pemilu.

Buruh pendidikan adalah para guru honorer, dosen honorer, tenaga kontrak, staf honorer, dan pendidik nonformal yang bekerja keras mendidik generasi muda, namun nyaris tanpa jaminan hidup yang layak. 

Mereka adalah wajah dari sistem yang ironis, kebijakan, kurikulum yang berubah-berubah setiap ganti Menteri, diminta profesional, tetapi dibayar tidak manusiawi, dengan tugas dan administrasi yang begitu banyaknya layaknya seperti superman dan wonderwomen harus senantiasa strong. 

Mereka menjalankan peran vital dalam mencerdaskan bangsa, tetapi hidup dalam ketidakpastian gaji rendah, status kerja tak tetap, dan minim perlindungan sosial. inikah realitas menuju Indonesia Emas katanya (?)

Di sisi lain, pendidikan bagi para buruh lainnya adalah harapan yang terus tertunda bagi jutaan pekerja yang sehari-harinya berada di pabrik, kebun, pelabuhan, atau sektor informal

Bukan karena mereka malas belajar, tetapi karena sistem tidak memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh. Jam kerja panjang, upah minim, dan tidak adanya fasilitas pendidikan yang fleksibel membuat buruh tetap berada dalam lingkaran ketidaktahuan dan ketergantungan.

Di antara dua kutub ini, kita melihat satu benang merah, pendidikan masih diperlakukan sebagai komoditas, bukan hak bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 

Buruh pendidikan dijadikan mesin penggerak murah system dengan alasan pengabdian, sementara para buruh lainnya dijauhkan dari akses Pendidikan belajar yang bisa membebaskan mereka dari eksploitasi.

Sudah waktunya negara dan masyarakat tidak hanya bicara tentang kualitas pendidikan, tapi juga keadilan dalam pendidikan, termasuk siapa yang berhak mengaksesnya dan siapa yang berkorban untuk menjalankannya.

Karena di antara gedung sekolah yang megah dan angka kelulusan yang tinggi, masih ada jutaan suara buruh pendidikan yang belum didengar, dan jutaan buruh yang belum diberi kesempatan belajar dan meraih pendidikan. 

Pendidikan yang ideal tidak hanya diukur dari angka partisipasi atau capaian kurikulum, tetapi dari bagaimana kita memperlakukannya. Mereka bukan mesin, bukan sekadar pengisi kekosongan, apalagi alat yang murah dan mudah di eksploitasi. 

Mereka adalah pilar utama peradaban.

Sudah saatnya negara serius memperhatikannya, bukan sebagai beban anggaran, tapi sebagai investasi jangka panjang, untuk menguatkan akar bangsa Indonesia.

Menuju Indonesia Emas 2045 perhatian, kebijakan kepada buruh pendidikan dan pendidikan kepada para buruh lainnya harus segera dilakukan. Jika tidak, bonus demografi dan SDM unggul, cita-cita besar itu hanya akan jadi mimpi kosong dan beban negara.

Dalam Pustaka Hindu, tatanan semesta akan berjalan baik bila setiap unsur masyarakat menjalankan dharmanya dengan adil. Maka negara, sebagai perpanjangan tangan rakyat, wajib menjaga keseimbangan itu. 

Memberi kesejahteraan dan penghargaan pada buruh pendidikan, serta menyediakan pendidikan yang adil dan setara bagi para buruh lainnya, adalah bentuk nyata sevanam (pelayanan) kepada umat manusia dan kepada Tuhan “Manava Seva, Madhava Seva”, 

Pendidikan bukanlah hak istimewa kaum elit. Ia adalah sarana menuju moksa, pembebasan dari ketidaktahuan (Awidya) dan penindasan. 

Maka memperjuangkan keadilan bagi kedua kelompok ini adalah bagian dari menjalankan karma yoga, pengabdian tanpa pamrih demi harmoni sosial.

Sudut pandang Hindu, buruh pendidikan dan pendidikan buruh tidak boleh dipisahkan. Keduanya adalah cermin dari bagaimana masyarakat memperlakukan pengetahuan, kemanusiaan, dan keadilan. 

Jika kita benar-benar hidup dalam nafas dharma, maka keduanya harus diperjuangkan bukan dibiarkan terpinggirkan dalam diam.

Selamat Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional!, Inilah Ironi Menuju Indonesia Emas 2045 (?). 

Oleh: Putu Eka Sura Adnyana (Ketua Bidang Agama, Adat, Budaya DPD KNPI Bali)