Search

Home / Kolom / Opini

Darurat Literasi Nasional, "Kota Pendidikan" Jadi Ironi

Dewa Fatur   |    10 Mei 2025    |   20:21:00 WITA

Darurat Literasi Nasional, "Kota Pendidikan" Jadi Ironi
I Dewa Gede Fathur Try Githa. (Foto: Dok/Pribadi)

BANGSA ini tengah berjibaku dengan momok rendahnya tingkat literasi. Berbagai survei internasional berulang kali menempatkan Indonesia di papan bawah, sebuah ironi mengingat gembar-gembor anggaran pendidikan yang tak sedikit.

Daya serap informasi minim, kemampuan analisis dangkal, dan budaya membaca yang lesu adalah sekadar gejala dari penyakit kronis ini. Bagaimana mungkin kita bicara kemajuan bangsa jika fondasi intelektualnya rapuh?

Lebih memprihatinkan lagi, di tengah klaim kemajuan pendidikan, kita dikejutkan dengan fenomena buta huruf yang ternyata masih menggerogoti sejumlah daerah.

Buleleng, yang selama ini dikenal dengan julukan "Kota Pendidikan" di Bali, justru menjadi anomali yang menyakitkan. Bagaimana bisa di daerah yang menyandang predikat terhormat dalam dunia pendidikan, masih ada warga yang kesulitan sekadar membaca dan menulis?

Fenomena buta huruf di Buleleng bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cerminan ketidakmerataan pembangunan, kegagalan sistem pendidikan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan abainya pemerintah daerah terhadap hak fundamental warga negara.

Julukan "Kota Pendidikan" terasa hambar bahkan ironis ketika realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ini adalah tamparan keras bagi narasi kemajuan pendidikan yang sering kali hanya berpusat di wilayah perkotaan.

Kendati demikian, langkah Buleleng yang telah merangkul Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) sebagai mitra strategis merupakan angin segar dalam upaya mengatasi persoalan buta huruf ini.

Sinergi antara pemerintah daerah dan institusi pendidikan tinggi yang memiliki kompetensi di bidang keguruan dan pendidikan adalah langkah yang tepat.

Namun, kemitraan ini harus diwujudkan dalam program-program yang terukur, berkelanjutan, dan menyentuh langsung masyarakat yang membutuhkan.

Sekadar menggandeng universitas tanpa implementasi yang efektif tidak akan membuahkan hasil yang signifikan.

Keterkaitan antara rendahnya literasi nasional dan buta huruf di Buleleng sangat jelas. Buleleng hanyalah salah satu potret buram dari masalah yang lebih besar.

Ia adalah representasi dari ketidakseriusan negara dalam memberantas akar masalah literasi. Janji-janji perbaikan pendidikan sering kali hanya menjadi hiasan tanpa implementasi yang efektif di lapangan, bahkan di daerah yang seharusnya menjadi contoh.

Sudah saatnya pengampu kebijakan berhenti beretorika dan mengambil tindakan nyata. Anggaran pendidikan yang besar harus benar-benar dialokasikan untuk peningkatan kualitas guru, pemerataan akses pendidikan hingga ke pelosok terpencil Buleleng, dan program-program literasi yang menyentuh akar rumput, termasuk memaksimalkan potensi kemitraan dengan Undiksha.

Kasus Buleleng, sebagai "Kota Pendidikan" yang tercoreng, harus menjadi alarm darurat bahwa kita tidak bisa lagi menunda penanganan masalah literasi. Jika tidak, bangsa ini akan terus tertinggal dan julukan terhormat itu akan terus menjadi ironi yang memilukan. Kemajuan semu tanpa fondasi literasi yang kuat hanyalah fatamorgana. 

Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa, S.Pd/Pekerja Media

Baca juga :
  • Bali dalam Sorotan Media Global
  • Perintis? Ah kita semua pewaris..!
  • Saat Murid Lebih Canggih dari Guru