TANPA tatapan mata, Ni Komang Yuni Lestari melihat lebih dalam. Keterbatasan penglihatan tak menghalangi perempuan ini menorehkan tinta. Dalam sunyi visual, ia menemukan melodi kata yang terangkum dalam `Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki`, sebuah karya yang membuktikan bahwa melihat tak selalu soal mata. Di tengah gegap gempita peluncuran tujuh buku di Gedung Kertha Sabha, Denpasar, Sabtu (10/5/2025), kisah Yuni menjadi resonansi yang paling kuat, mengalunkan inspirasi bagi setiap hati yang mendengarkan. Duduk dengan tenang di antara para penulis lain, Yuni adalah representasi keteguhan jiwa. Jemarinya, yang tak pernah mengecap indahnya panorama dunia, menari lincah di atas kanvas imajinasinya, merajut kisah demi kisah yang kini terangkum dalam sebuah buku. `Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki` adalah jendela unik bagi Yuni untuk menatap kehidupan, sebuah lanskap batin yang kaya akan emosi, empati, dan pemahaman mendalam tentang dinamika manusia. "Walaupun tidak bisa secara langsung melihat dunia, Ibu yakin keindahan hatinya melebihi itu sehingga tercipta karya sastra yang mampu mencerahkan kita," tutur Ny. Putri Suastini Koster, Ketua TP PKK Provinsi Bali, yang hadir memberikan dukungan penuh. Kata-kata tulus itu bagai mengamini keistimewaan Yuni, bahwa keterbatasan fisik tak mampu membendung luapan kreativitas. Bagi Yuni, menulis adalah kebebasan yang tak ternilai. Terinspirasi oleh para maestro literasi, ia menemukan jalannya untuk melukis dunia dengan aksara. "Ini adalah kepingan mimpi yang bisa saya wujudkan," ujarnya lirih, namun penuh keyakinan, seolah mengajak kita mengintip keajaiban yang ia temukan di balik "tirai penglihatan". Kisah Yuni adalah simfoni tentang penemuan dan penerimaan. Ia tak meratapi kegelapan, namun justru menjadikannya sebagai ruang sunyi untuk mendengar suara hatinya lebih jernih. Keterbatasan itu ia ubah menjadi keunikan perspektif, menghasilkan narasi yang mungkin terlewatkan oleh mata yang terbiasa dengan gemerlap visual. Karyanya adalah bukti bahwa setiap indra memiliki caranya sendiri untuk menangkap esensi kehidupan dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang universal. Peluncuran buku itu juga menjadi panggung bagi keberagaman suara perempuan dalam literasi Bali. Di sana berdiri tegak I Gst. Ayu Putu Rasmini, I A. Suniastiti, dan I G. A. Dewi Parwati, tiga penulis perempuan di balik `Sekelumit Sejarah Teater Angin`. Mereka adalah harmoni lain dalam orkestrasi acara, mendedikasikan diri untuk merekam jejak seni pertunjukan lokal agar tak lekang oleh zaman. Kehadiran mereka memperkaya narasi acara, menunjukkan bahwa semangat berkarya hadir dalam berbagai wujud dan latar belakang. Kisah Ni Komang Yuni Lestari, dengan simfoni kata yang lahir dari balik "tirai penglihatan", dan harmoni sejarah yang diabadikan oleh ketiga penulis perempuan, adalah hadiah tak ternilai bagi dunia sastra. Mereka adalah pengingat bahwa inspirasi dapat ditemukan di mana saja, dan batasan hanyalah garis yang bisa dilewati oleh keteguhan hati dan semangat yang membara. Di tengah alunan kata-kata yang memenuhi ruangan, terasa jelas bahwa literasi adalah ruang inklusif yang merayakan setiap suara, sekecil atau sebesar apapun tantangan yang dihadapi. (fathur)
Baca juga :
• Bermain Hujan di Panggung Kebyar
• Jejak Maestro dalam Panggung PKB
• Anom Ranuara: Teater, Hidup yang Diperankan Sepenuh Jiwa