SOROT lampu memecah kegelapan Panggung Ksirarnawa, laksana seberkas harapan yang menyibak tabir kehidupan. Di sana, Teater Royal House dari Yogyakarta mementaskan Calonarang di bawah arahan sutradara Anastasia, dengan naskah karya Oka Swastika Mahendra. Lebih dari sekadar lakon, panggung ini adalah tempat karakter muda teranyam, dengan empati menjadi benang merahnya. Senin (12/5/2025) malam itu, Ketua Dekranasda Provinsi Bali, Ny. Putri Koster, hadir. Ia melihat lebih dari sekadar pertunjukan. Baginya, ini adalah metamorfosis jiwa, di mana empati dipupuk melalui penghayatan peran. Usai pertunjukan yang memukau, ia berbagi kebahagiaan dan kekagumannya, menyinggung momen di balik layar yang mendekatkannya dengan para seniman muda. "Saya sangat senang, olah tubuh dan olah vokal anak-anak sekalian sangat keren," pujinya tulus, mengenang kecintaannya pada teater sejak belia. Hal ini menunjukkan bahwa kehadirannya bukan sekadar formalitas jabatan, melainkan bagian dari jati dirinya. Lebih lanjut, ia menekankan, "Seni teater bukan hanya hiburan semata, melainkan juga membentuk mental, melatih empati, membiasakan diri tampil. Siapa tahu, dari panggung ini akan lahir pemimpin masa depan, ataupun istri pejabat, sehingga bisa lebih memahami orang lain kelak." Kata `empati` menggema di ruang Ksirarnawa. Di pentas, para aktor muda Teater Royal House belajar melihat dunia dari sudut pandang yang beragam, merasakan berbagai emosi. Ini adalah modal berharga untuk membangun pemahaman antarsesama. Putri Koster melihat panggung sebagai kawah candradimuka, tempat potensi diasah, termasuk potensi empati yang ditunjukkan oleh para talenta muda Teater Royal House. Keberanian tampil di depan khalayak dan disiplin dalam proses adalah bekal hidup yang tak ternilai harganya. Puncaknya, satu kata terucap tulus dari bibirnya, "Luar biasa!," yang disambut riuh tepuk tangan hadirin. Bahkan, pandangan visioner dilayangkan tentang peran yang mungkin diemban para aktor muda Teater Royal House ini di masa depan. Bukan hanya sebagai penghibur, tetapi juga sebagai pemimpin yang memiliki kepekaan, atau pendamping pemimpin yang mampu menyelami denyut nadi rakyat dengan empati, yang telah tertanam melalui pengalaman mereka menghidupkan berbagai karakter. Di balik riasan dan kostum, empati sedang diukir, mempersiapkan mereka menjadi individu yang lebih berempati di dunia nyata. (fathur/suteja)
Baca juga :
• Bermain Hujan di Panggung Kebyar
• Jejak Maestro dalam Panggung PKB
• Anom Ranuara: Teater, Hidup yang Diperankan Sepenuh Jiwa