Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Lewat Tangan Perempuan, Banten Tetap Hidup di Sanur Kaja

Dewa Fatur   |    18 Mei 2025    |   19:47:00 WITA

Lewat Tangan Perempuan, Banten Tetap Hidup di Sanur Kaja
WHDI Denpasar latih ibu-ibu Sanur Kaja membuat Banten Oton, Minggu (18/5/2025). (foto/fathur)

PAGI itu di Bale Banjar Langon, Desa Sanur Kaja, aroma bunga dan dupa bercampur dengan suara tertawa kecil para ibu. Meja-meja kayu tertata rapi, di atasnya tersaji janur, beras, tumpeng mini, dan komponen bebantenan lainnya. Bukan sembarang kerajinan, tangan-tangan ini sedang merangkai warisan.

Pemerintah Kota Denpasar bersama Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) menggelar pelatihan Banten Oton Tumpeng Pitu bagi para anggota PKK di lingkungan banjar tersebut, Minggu (18/5/2025). Tujuannya sederhana tapi mendalam: menghidupkan kembali tradisi membuat banten dengan tangan sendiri.

“Banten Oton itu adalah dasar. Hampir semua keluarga Hindu akan membuatnya untuk upacara otonan. Sayangnya, makin ke sini makin banyak yang hanya tahu membeli, tanpa tahu makna dan cara membuatnya,” ujar Ny. Widnyani Wiradana, Ketua DWP Kota Denpasar sekaligus Penasehat WHDI.

Menghidupkan yang Mulai Dilupakan

Banten Oton Tumpeng Pitu bukan sekadar sesajen. Ia adalah lambang doa, permohonan keselamatan, dan rasa syukur dalam upacara otonan—peringatan kelahiran berdasarkan kalender Bali. Komponennya banyak: Pejati, Gebogan, Sesayut, Peras Soda, bahkan Bayakaonan dan Prayascita. Semuanya punya filosofi.

Narasumber pelatihan, Ni Wayan Sukerti, tak hanya mengajarkan cara merangkai. Ia menjelaskan makna di balik setiap bagian banten. Tentang tumpeng yang melambangkan gunung suci. Tentang peras yang merepresentasikan unsur pembersihan. Tentang sesayut yang menjadi simbol permohonan keselamatan.

“Kami ingin ibu-ibu tidak sekadar bisa, tapi paham. Supaya kalau nanti anaknya bertanya, mereka bisa menjelaskan,” ujarnya.

Banten dari Tangan Sendiri

Pelatihan seperti ini bukan pertama kali diadakan. Dalam setahun, WHDI menjadwalkan delapan kali pelatihan menyasar banjar-banjar di empat kecamatan. Namun suasananya selalu sama: hangat, cair, penuh tanya jawab yang membuat pengetahuan bukan hanya turun dari atas ke bawah, tapi juga berputar dalam lingkaran komunitas.

Bagi Ni Nyoman Sariani, salah satu peserta, kegiatan ini membangkitkan kembali rasa percaya diri yang sempat hilang.

“Dulu waktu kecil saya lihat nenek saya buat banten. Tapi sekarang sudah jarang pegang. Ini jadi pengingat bahwa saya pun bisa. Dan harus,” tuturnya, sambil merapikan lipatan janur.

Melampaui Ritual

Apa yang dilakukan para perempuan di Banjar Langon ini bukan sekadar latihan membuat upakara. Ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap lupa. Terhadap budaya instan. Terhadap asumsi bahwa warisan hanya milik para tetua.

Melalui tangan-tangan mereka, tradisi banten tak hanya hidup, tapi bernapas dalam keseharian. Tidak hanya dalam upacara, tapi juga dalam nilai gotong royong, kebersamaan, dan cinta terhadap kearifan lokal.

“Banten bukan hanya persembahan, tapi pengingat bahwa hidup ini penuh makna,” ujar Ny. Widnyani.

Dan pagi itu di Sanur Kaja, makna itu kembali dirajut, janur demi janur. Lewat tangan perempuan. (fathur)

Baca juga :
  • Dari Mendak ke Mengalir: Revolusi Sunyi Air Suci Besakih
  • Seni Peran, Ruang Empati Bertumbuh
  • Simfoni Kata dari Balik Tirai Penglihatan