SEBELUM matahari naik sempurna di langit Gunung Agung, para pengempon Pura Agung Besakih dulu melangkah pelan menapaki jalur bebatuan. Di tangan mereka, kendi-kendi kosong menanti terisi air dari mata air suci Tirta Lateng, dua kilometer jauhnya. Air itu bukan sekadar kebutuhan logistik. Ia adalah tirta, unsur sakral dalam upacara keagamaan Hindu Bali. Dan karena itulah, perjalanan dua kilometer mendaki bukan hanya ritual fisik, tapi laku batin. Sebuah penghormatan dalam peluh. Kini, kendi-kendi itu tak lagi harus dijinjing jauh. Air sudah mengalir langsung ke halaman suci. Pekan lalu, sebuah pipa ditanam dan disambungkan, mengalirkan air dari Tirta Lateng ke Pura Penataran Agung Besakih. Sebuah revolusi kecil yang lahir dari kolaborasi komunitas dan pemerintah, tanpa gembar-gembor, tapi mengubah banyak hal. “Dulu kami para pengempon Pura Agung Besakih harus mendak Tirta sepanjang 2 km untuk memenuhi kebutuhan upacara, saat ini tentu sudah sangat mudah karena sudah mengalir langsung ke Pura Besakih,” ujar Jro Bendesa Adat Besakih, Jro Mangku Widiartha, Jumat (23/5/2025) di Karangaseem. Proyek itu bukan bagian dari megaproyek infrastruktur atau program nasional. Ia lahir dari inisiatif Forum Aksi Rare Angon (FARA), sebuah komunitas akar rumput yang selama ini bergerak di bidang adat, sosial, budaya, dan keagamaan. Gubernur Bali Wayan Koster hadir sendiri menyerahkan bantuan itu. Ia menyebut Tirta Lateng bukan sekadar mata air, tapi anugerah dari Ida Betara, sehingga kehadirannya dalam upacara di Besakih bersifat niskala—tak tergantikan. “Apalagi itu sudah sesuai Puranya, jika memang keperluan tirta di Pura Besakih itu memang harus mengambil dari Tirta Lateng sebagai anugerah dari Ida Betara,” kata Koster. Yang membuat proyek ini istimewa bukan sekadar karena airnya tiba di tempat. Tapi karena air itu tetap suci, tetap sakral, bahkan ketika ia menempuh pipa-pipa plastik modern. Kesakralan tak terganggu oleh teknologi. Justru diperkuat oleh efisiensi yang memungkinkan para pemangku dan umat lebih fokus pada esensi ritual, bukan perjuangan logistik. Ketua FARA, Dr Ketut Agus Karmadi, menjelaskan bahwa pipa-pipa itu dibentangkan dari areal pinggang Gunung Agung, menembus 2 km menuju Pura Kiwa Tengen. Ia berharap jaringan itu bisa mendukung pelaksanaan upacara Toya Tirta Wangsuhpada dan ritual lainnya di Besakih. “Kami ingin mendukung upaya menjaga hingga memperbaiki Kawasan Pura Agung Besakih,” ucap Agus. Tak hanya itu, ia pun berharap kawasan mata air Tirta Lateng dilengkapi tembok pagar dan pelinggih guna menjaga kesakralan dan keasrian sumber air itu sendiri. Air yang dulu harus didatangi kini datang sendiri. Tapi esensi pengabdian tetap tinggal. Dalam alirannya yang sunyi, air itu membawa pesan penting: bahwa pembangunan tidak selalu harus berbentuk beton dan besi. Ia bisa lahir dari kepekaan, kolaborasi, dan rasa hormat pada yang tak terlihat—niskala. (fathur/suteja)
Baca juga :
• Lewat Tangan Perempuan, Banten Tetap Hidup di Sanur Kaja
• Seni Peran, Ruang Empati Bertumbuh
• Simfoni Kata dari Balik Tirai Penglihatan