KEAMANAN bukan hanya fondasi pariwisata yang sehat, tapi juga hak dasar setiap warga. Di Bali, keamanan kerap dipromosikan demi kenyamanan wisatawan asing, seolah-olah itulah tujuan utama. Namun kini muncul pertanyaan yang makin sering terdengar: Bali aman untuk siapa sebenarnya? Lonjakan Kasus WNA Data dari Polda Bali dan Kantor Imigrasi Denpasar menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Tahun 2024 mencatat 226 kasus kriminal yang melibatkan warga negara asing, naik hampir lima puluh persen dari tahun sebelumnya. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan WNA pun meningkat dari 71 kasus menjadi 91 kasus. Pelanggaran beragam: narkotika, overstay visa, kejahatan siber, hingga prostitusi online. Operasi Bali Becik mengungkap 103 WNA, mayoritas dari Taiwan, terlibat penipuan digital. Jumlah deportasi dari Bali juga melonjak, dari 178 orang (Januari–Juli 2023) menjadi 412 orang sepanjang 2024. Negara asal terbanyak: Rusia, Tiongkok, Australia, dan Amerika Serikat. Respons Tak Seimbang Kasus penembakan brutal di vila mewah kawasan Munggu, Badung, pada 14 Juni 2025, menunjukkan reaksi cepat. Dua warga Australia jadi korban, satu tewas. Kapolda Bali turun langsung, tim gabungan dibentuk, koordinasi internasional segera dijalankan. Langkah ini diapresiasi. Tapi publik bertanya: apakah sikap serupa diambil saat warga lokal menjadi korban? Ketika masyarakat mengeluhkan kebut-kebutan, pelanggaran adat, atau prostitusi terselubung, tanggapannya sering lamban. Menurut Prof Dr Gde Made Swardhana, kriminolog Universitas Udayana, "Yang disorot media, baru ditindak. Yang tidak terekam kamera, dibiarkan mengendap. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal siapa yang pantas dibela." Desa Rawan Pelanggaran Banyak desa wisata kini jadi tempat tinggal kelompok WNA yang menyalahgunakan izin. Ada yang datang sebagai digital nomad namun membuka kursus spiritual ilegal, menyewakan vila tanpa izin, atau menjalankan aktivitas ilegal. Warga Ubud, Canggu, dan Amed mulai bersuara. Mereka mengeluhkan sikap arogan, pelanggaran terhadap kesucian pura, hingga intimidasi terhadap warga lokal. Kasus WNA menari telanjang di pelinggih dan mengusir petani demi konten video masih segar dalam ingatan. Namun banyak kasus berlarut karena minimnya koordinasi instansi dan warga yang enggan melapor. Warga Tuan Rumah Warga lokal sering hanya diposisikan sebagai pelengkap narasi eksotis: petani, seniman, atau pekerja informal. Padahal merekalah yang menjaga suasana damai dan ramah Bali. Sayangnya, mereka juga yang paling sering dirugikan oleh ketimpangan kekuasaan antara tuan rumah dan tamu. Saat warga menegur pelanggaran, mereka kerap dianggap tidak toleran. Negara terkesan lebih menjaga citra pariwisata daripada membela keadilan bagi rakyatnya. Kampanye “Do’s and Don’ts” untuk turis memang ada, tapi belum menyentuh semua pengunjung. Sementara itu, pengawasan visa dan aktivitas ekspatriat masih lemah. Perlu Tindakan Nyata Gubernur Bali Wayan Koster dalam beberapa kesempatan menyatakan pentingnya pengawasan terhadap WNA dan keberpihakan pada nilai adat Bali. Komitmen ini harus diikuti langkah nyata. Penguatan Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA), pembentukan desa binaan Imigrasi, serta digitalisasi izin dan visa adalah langkah penting. Tapi yang paling krusial adalah keberanian menegakkan hukum secara adil. Hak Warga Lokal Pariwisata memang penting, tapi bukan segalanya. Keamanan tidak boleh hanya milik tamu asing. Bali adalah rumah bagi lebih dari empat juta orang yang menjaga tradisi dan kehidupan sosialnya. Mereka layak mendapatkan prioritas dalam hukum, perlindungan, dan kebijakan publik. Bali harus tetap terbuka, tapi tidak boleh lengah. Harus tetap ramah, tapi tidak naif. Harus tetap mengundang, tapi tahu kapan harus tegas. Karena jika keamanan hanya hak para tamu, maka rumah ini perlahan sedang kehilangan tuannya. (*) Menot Sukadana (Jurnalis & Aktivis)
Baca juga :
• Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya
• Xana, Enrique dan Paris Saint-Germain
• Orang Bali Takut Marah?