Search

Home / Kolom / Opini

Sampah Plastik

Editor   |    17 Juni 2025    |   06:51:00 WITA

Sampah Plastik
Gembong Ismadi. (dok/pribadi)

SAMPAH plastik hasil dari rekayasa manusia untuk mempermudah hidupnya, saat ini menjadi problem dan "musuh bersama". Panik dengan dampak ciptaannya sendiri, manusia berusaha mengendalikan produk berbahan baku plastik.

Pemerintah, sebagai pengendali regulasi mengeluarkan sejumlah aturan penggunaan produk dari plastik, khususnya yang berkaitan dengan konsumsi masyarakat sehari-hari. Kantong plastik (tas kresek), hingga air minum dalam kemasan (AMDK), dua dari banyak produk plastik yang dibatasi peredarannya.

Saya sebagai generasi yang saat ini memasuki usia tua, hanya melihat dengan sederhana dinamika produk dan sampah plastik. Sederhana karena di masa kecil hingga remaja menyaksikan dan mengalami, penggunaan wadah nonplastik merupakan hal yang biasa.

Ada dua wadah yang dibawa ibu saya saat belanja kebutuhan sehari-hari. Satu wadah terbuat dari anyaman bambu sebagai tempat sayur dan bumbu serta kantong kain sebagai tempat beras.

Pedagang kebutuhan pokok saat itu, nyaris tidak ada yang menggunakan kantong plastik untuk mengemas jualannya. Kertas bekas menjadi wadah untuk mengemas berbagai bumbu, bahkan termasuk bumbu yang kecil seperti ketumbar atau merica.

Kembali kepada kepanikan terhadap sampah plastik, sejarah tampaknya sedang berputar ulang. Tidak persis sama tapi dalam konteks dan subtansi yang sama yaitu, manusia diajak menggunakan barang yang bisa berkali-kali dipakai.

Bercermin dari masa lalu dan sekarang, meskipun dibatas kemajuan zaman, orang tua atau leluhur kita benar dalam memperlakukan alam. Tanpa teori atau analisa ilmiah, mereka mengintegrasikan keseimbangan alam dalam kultur prilaku.

Meskipun tidak harus menggendong wadah belanjaan kebutuhan pokok yang terbuat dari anyaman bambu, wadah berbahan sintetis yang bisa berulangkali digunakan setidaknya mengurangi kerepotan manusia akibat sampah.

Regulasi

Manusia tertib karena aturan. Dan seringkali aturan harus dipaksakan, meski kontroversi bahkan protes menyertainya. Demikian juga halnya dengan pembatasan penggunaan barang-barang berbahan plastik di Provinsi Bali.

Setelah mengeluarjan Peraturan Gubernur Bali Nomer 97 Tahun 2018 yang memuat larangan penggunaan sejumlah produk berbahan plastik seperti kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik dan styrofoam, peraturan itu dipertajam dengan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2025.

Lewat SE tersebut, sosialisasi masif dilakukan termasuk sanksi bagi yang melanggar. Lembaga-lembaga milik pemerintah baik struktural maupun fungsional seperti sekolah-sekolah, diwajibkan menerapkan pembatasan penggunaan produk berbahan plastik.

Salah satunya adalah larangan air kemasan plastik di bawah satu liter, yang digantikan mewajibkan pegawai pemerintah dan pelajar menggunakan tumbler sebagai tempat air minum, dalam waktu singkat merata di seluruh Bali.

Tekanan di lembaga-lembaga pemerintah untuk mematuhi aturan terkait produk berbahan plastik, dalam beberapa momen juga diikuti masyarakat umum. Belakangan sudah jamak gerakan gabungan bersih-bersih sampah plastik - biasanya dilakukan di pantai- melibatkan masyarakat umum.

Aturan yang diterapkan dengan tegas, serta penanaman kultur kepada masyarakat, merupakan kombinasi yang efektif membangun kesadaran kolektif  menjaga bumi dari sampah plastik yang tidak terkendali.

Sifat sampah plastik yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai, merupakan alasan yang cukup untuk mengurangi pengunaan produk berbahan plastik.

Penelitian ilmiah menyebutkan kantong plastik membutuhkan waktu 10 sampai 100 tahun untuk terurai. Sementara agar terurai gelas plastik butuh 50 sampai 100 tahun, botol plastik 50 sampai 500 tahun, sedotan plastik 200 tahun dan kemasan sachet 50 sampai 80 tahun. Nah, gawat kan?

Gembong Ismadi (Jurnalis tinggal di Jembrana, Bali)

Baca juga :
  • Bali Aman untuk Siapa?
  • Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya
  • Xana, Enrique dan Paris Saint-Germain