SEPERTI cangkir kopi yang tumpah di meja pagi, jalan raya pun kadang menumpahkan kegaduhan yang tak semestinya. Bukan karena padatnya kendaraan, tapi karena ruang etika yang perlahan terkikis oleh euforia tanpa kendali. Sabtu lalu, Jalan Raya Puputan, Renon, menjadi saksi bisu sebuah drama yang tak patut dipentaskan: belasan pelajar menjadikan jalan raya sebagai arena konvoi liar. Tak ada helm standar. Tak ada surat kendaraan. Tak ada malu. Yang ada hanya kebisingan knalpot dan lenggang tangan di atas motor—seolah dunia milik mereka sendiri. Video aksi ini viral di media sosial dan membuat publik mengelus dada. Bukan hanya soal pelanggaran lalu lintas, tapi karena pelanggaran nilai-nilai hidup yang jauh lebih dalam. Polisi pun bertindak cepat. Mereka tidak hanya menilang delapan sepeda motor dari konvoi itu, tapi juga memanggil orang tua dan pihak sekolah. Di sinilah kita melihat bahwa ini bukan semata soal hukum, tapi soal kegagalan kita bersama dalam membangun ruang etika sejak dini. Jalan raya hanya menjadi cermin. Dan yang terpantul adalah kegagapan kita dalam menanamkan nilai pada anak-anak. Etika bukan pelajaran teori. Ia butuh ruang praktik. Dan jalan raya adalah salah satunya. Di sanalah kita belajar antre, menghormati hak pengguna lain, dan menyadari bahwa hidup itu tak melulu tentang kebebasan, tapi juga tentang tanggung jawab. Sayangnya, pendidikan sering kali terlalu fokus pada hafalan dan nilai ujian. Anak-anak jarang diajak berbincang tentang makna menjadi warga. Tentang bagaimana bersikap di ruang publik. Tentang bagaimana suara knalpot bisa menjadi gangguan, bukan ekspresi diri. Padahal semua itu bagian dari membangun peradaban. Jika hari ini jalan raya kehilangan etika, bisa jadi itu karena kita—orang tua, guru, dan masyarakat—lupa menyeduh nilai itu dalam cangkir pendidikan. Kita terlalu sibuk mengejar prestasi akademik, tapi lupa mengajari cara menyeberang dengan tenggang rasa. Etika itu seperti kopi yang diseruput di pagi hari: hangat, membangunkan kesadaran, dan mengingatkan kita untuk tidak tumpah di tengah lalu lintas kehidupan. (*) (Menot Sukadana)
Baca juga :
• Lelah yang Tak Terucap
• Harga Sebuah Perang
• Masakan dan Waktu