Search

Home / Kolom / Jeda

Lampu yang Tak Pernah Dimatikan

Editor   |    06 Juni 2025    |   18:48:00 WITA

Lampu yang Tak Pernah Dimatikan
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

ADA yang tak pernah kita perhatikan, tapi selalu ada. Seperti secangkir kopi yang diam di meja, lampu kecil di dapur itu tetap menyala malam demi malam. Letaknya di sudut rumah, kadang di lorong menuju kamar mandi, kadang di dekat rak bumbu yang mulai berkarat. Cahayanya tidak terang, hanya redup kekuningan. Tapi justru di situlah letak ketenangannya.

Saya baru menyadarinya ketika suatu malam listrik padam. Rumah gelap, dan saya terbangun dengan perasaan tak tenang. Sudah menjadi kebiasaan, saya melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Tapi langkah saya terhenti. Tak ada cahaya yang menuntun. Gelap sepenuhnya. Barulah saya sadar, betapa selama ini saya menggantungkan rasa aman pada cahaya kecil yang tak pernah saya ucapkan terima kasih.

Lampu itu tak pernah jadi perhatian. Tak pernah difoto, tak pernah disebut saat kami bersyukur atas rezeki hari ini. Tapi diam-diam ia menjaga banyak hal. Menjaga arah, menjaga rasa tenteram, menjaga agar kita tak tersandung saat hidup sedang gelap-gelapnya. Ia tak meminta disanjung. Ia hanya ingin tetap berguna.

Dan hidup, rupanya juga begitu. Kita sering lupa pada yang paling setia. Pada ibu yang bangun lebih dulu. Pada ayah yang pulang terakhir. Pada istri yang menyiapkan sarapan tanpa tanya, dan anak yang menunggu hanya untuk dibacakan cerita. Mereka seperti lampu kecil itu. Tidak menuntut banyak, cukup diberi ruang untuk tetap menyala.

Kopi yang saya seduh pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Mungkin karena saya baru saja diingatkan: terang tidak selalu datang dari hal-hal besar. Kadang ia hadir dari kesederhanaan yang kita anggap biasa.

Kita tak perlu jadi matahari untuk memberi cahaya. Kadang cukup menjadi lampu kecil, yang tak pernah dimatikan.

Karena kopi yang baik tak selalu pekat. Kadang cukup hangat dan menemani diam-diam, seperti lampu kecil di rumah yang menyala demi yang kita cintai. (*)

(Menot Sukadana)

Baca juga :
  • Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup
  • Kopi dan Keran Air yang Bocor
  • Jalan Raya yang Kehilangan Etika