KETIKA dunia kian terpikat pada seni visual berbasis kecerdasan buatan yang serba cepat dan instan, puluhan pelajar SMP di Buleleng justru memilih jalan yang berbeda. Mereka tidak duduk di depan layar, melainkan bersila di pelataran Taman Bung Karno, menggenggam kuas, dan melukis dengan cat air langsung dari objek nyata di sekitar. Tidak ada filter digital. Tidak ada tombol undo. Yang ada hanya kertas, air, warna, dan imajinasi yang mengalir pelan. Langkah ini bukan sekadar nostalgia pada seni manual, tapi pernyataan sikap. Bahwa kreativitas bukan hanya tentang hasil yang bisa dikagumi dalam hitungan detik, melainkan proses sunyi yang menumbuhkan ketekunan, kepekaan, dan kesabaran. Di tengah gempuran teknologi yang memudahkan segalanya, mempertahankan proses kreatif yang nyata adalah bentuk perlawanan yang bermartabat. Apa yang dilakukan Dinas Pendidikan Buleleng patut diapresiasi. Dengan memberi kebebasan memilih objek dari taman, lomba ini mengajak siswa melihat ruang hidup mereka dengan cara berbeda. Taman yang semula hanya latar belakang, kini menjadi pusat perhatian. Ini bukan hanya tentang melatih teknik, tapi juga menanamkan rasa memiliki terhadap ruang publik. Seni digital memang membawa revolusi besar. Tapi jika semua ekspresi dikendalikan algoritma, kita bisa kehilangan keunikan manusiawi dalam karya seni. Karena itu, keberanian untuk tetap menggambar dengan tangan sendiri adalah bentuk pertahanan atas kebebasan berpikir dan berkarya. Di sanalah nilai Bung Karno hidup kembali. Ekspresi diri yang merdeka. Kecintaan pada negeri. Dan keyakinan bahwa seni bukan sekadar gambar, tapi suara hati yang menyapa kehidupan. Mari jaga kuas itu, sebelum ia berubah menjadi sekadar ikon pada layar. (*)
Baca juga :
• Bali dan Visi Soekarno
• Literasi Bernilai, Bukan Sekadar Membaca
• Gas untuk Bali, Ruang untuk Rakyat