Search

Home / Kolom / Jeda

Kopi dan Keran Air yang Bocor

Editor   |    05 Juni 2025    |   20:48:00 WITA

Kopi dan Keran Air yang Bocor
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

PAGI ini aku terbangun sedikit lebih awal dari biasanya. Langit masih separuh gelap, dan udara dapur belum sepenuhnya hangat. Seperti biasa, tanganku bergerak otomatis menyalakan kompor, merebus air, dan mengambil kopi bubuk dari toples kaca yang tutupnya mulai longgar. Ritual yang nyaris suci: menyeduh kesadaran dengan aroma pahit yang menenangkan.

Tapi pagi ini, ada suara lain yang lebih dulu menyapa.
Tuk. Tuk. Tuk.
Suara tetesan air dari keran wastafel yang bocor.

Sudah tiga hari ini keran itu bocor. Sudah kutandai untuk diperbaiki. Tapi selalu ada yang terasa lebih penting: rapat daring, berita yang harus naik, atau sekadar rasa malas yang disamarkan sebagai "nanti saja". Dan begitu pagi datang, suara tetesannya menjadi latar bagi kopi yang kusesap pelan.

Lucu juga. Kita sering marah pada hal-hal besar yang merusak hidup, tapi justru lalai pada kebocoran-kebocoran kecil yang pelan-pelan menggerus ketenangan. Seperti keran itu, yang tiap tetesnya mungkin cuma sepersekian liter, tapi jika dikumpulkan bisa membanjiri lantai. Atau mungkin hati.

Kita menunda memperbaiki hal-hal kecil karena merasa masih bisa ditoleransi. Tapi seperti tetesan air yang konstan, kebocoran kecil dalam hidup pun bisa menjadi genangan: janji yang terlupa, perhatian yang ditunda, luka yang tak sempat disapa. Dan tanpa sadar, hidup kita jadi berisik oleh hal-hal yang sebenarnya bisa diperbaiki sejak awal.

Kopi di tanganku mulai mendingin. Tapi justru di situ letak kejujurannya. Pagi tak selalu sempurna. Hidup pun demikian. Tapi selama kita bisa berhenti sejenak, menyeruput pelan, dan menyimak suara bocor yang kita abaikan, mungkin itu awal dari perbaikan.

Aku meneguk sisa kopi, menatap keran yang masih menetes, lalu tersenyum kecil. Mungkin hari ini aku tak bisa memperbaiki semuanya. Tapi setidaknya aku sudah mendengarkan.

Karena seperti hidup, secangkir kopi pun kadang tetap bisa dinikmati—meski ditemani tetesan yang tak kunjung reda. (*)

Menot Sukadana
Pernah muda, masih ngopi, belum pensiun dari mikir.

 

Baca juga :
  • Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup
  • Lampu yang Tak Pernah Dimatikan
  • Jalan Raya yang Kehilangan Etika