Search

Home / Kolom / Jeda

Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup

Editor   |    07 Juni 2025    |   13:17:00 WITA

Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SANDAR pagi menyapa pelan. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi cahaya tipisnya sudah menjilat pelataran depan rumah. Angin membawa aroma tanah basah seusai hujan semalam, bercampur wangi sabun cuci dan suara ayam tetangga yang belum sepenuhnya terjaga. Di tengah suasana itu, aku duduk dengan kaos Swan putih yang warnanya mulai pudar, sandal jepit Swallow yang sudah tujuh tahun menemaniku, dan secangkir kopi Bali hangat di tangan.

Sandal jepit hijau itu kubeli tujuh tahun silam di sebuah warung kecil dekat kosan lama. Harganya sebelas ribu. Waktu itu kubeli bukan karena perlu, tapi karena sandal sebelumnya hilang entah ke mana. Sejak itu, ia setia menemani dari kos sempit di pojok Denpasar hingga ke rumah yang kutempati kini. Sering kupakai ke tempat cuci, ke jemuran, atau sekadar menyapu halaman.

Kaos Swan putih ini pun punya kisahnya sendiri. Tiga biji kudapat dari hasil tawar-menawar alot di Pasar Senggol Kreneng. Lima puluh ribu untuk tiga potong—murah, tapi bukan murahan. Salah satu dari kaos itu yang sering kupakai sudah mulai sobek di lehernya. Justru sobeknya itu yang bikin nyaman, seperti luka kecil yang mengingatkan: “Sudah sejauh ini kamu berjalan.”

Kaos ini dulu favorit ayahku. Ia sering memakainya saat menyapu teras, atau duduk menyuruput teh jahe kesukaannya. Sementara aku, diwarisi cinta pada kopi dari ibu. Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, ibulah yang membuatkan teh jahe untuk ayah, lalu kopi untukku ketika hendak pergi kuliah. Entah kenapa, sejak itu kopi jadi semacam bahasa rahasia antara aku dan pagi.

Kadang, kalau sedang ingin tampil ‘ngegembel’, kupadukan kaos Swan pudar, sandal Swallow tua, dan celana jeans belel. Lalu nongkrong di warung kecil pinggir jalan. Di sana, aku merasa jadi diriku sendiri: sederhana, tenang, tidak perlu menjelaskan apa-apa ke siapa pun.

Hidup ternyata bisa sesenyap itu, dan tetap terasa penuh.

Ada kalanya kebahagiaan tidak datang dari hal-hal besar yang gemerlap. Tapi dari barang-barang tua yang pernah kita sayangi, tempat-tempat kecil yang akrab, dan kebiasaan remeh yang kita ulang diam-diam. Kaos sobek, sandal jepit usang, dan kopi hitam tanpa gula. Semuanya mengandung cerita, dan semuanya cukup untuk membuatku merasa hidup.

Seperti secangkir kopi Bali di pagi sunyi—tidak terlalu manis, tapi jujur. Tidak terlalu pekat, tapi dalam. Diseruput pelan dan membekas. Karena dalam hidup yang sering bising ini, kadang yang kita butuhkan hanya satu momen tenang untuk menyadari: ternyata kita sudah sampai sejauh ini. (*)

Menot Sukadana
Pernah muda, masih ngopi, belum pensiun dari mikir.

 

Baca juga :
  • Lampu yang Tak Pernah Dimatikan
  • Kopi dan Keran Air yang Bocor
  • Jalan Raya yang Kehilangan Etika