Search

Home / Kolom / Editorial

Bali dan Visi Soekarno

Editor   |    07 Juni 2025    |   19:55:00 WITA

Bali dan Visi Soekarno
Editorial. (Podiumnews)

BUNG Karno adalah sosok unik dalam sejarah kepemimpinan dunia. Ia bukan sekadar proklamator atau kepala negara; ia seorang pemikir ulung yang sadar betul bahwa membangun bangsa tak cukup hanya dengan fondasi fisik atau politik, tapi juga harus berakar pada jiwa dan budayanya sendiri. Di antara seluruh kekayaan Nusantara, Pulau Bali berdiri sebagai mercusuar inspirasi tak terhingga bagi imajinasi politiknya, memahat dasar ide-ide besar seperti Pancasila dan Revolusi Mental.

Hubungan Bung Karno dengan Bali jauh melampaui sekadar kunjungan kenegaraan. Ia melihat pulau ini sebagai laboratorium nilai-nilai luhur dan universal. Ketika membangun Istana Tampaksiring, misalnya, ia tak sekadar mendirikan gedung megah. Ia menciptakan ruang yang beresonansi dengan Tri Hita Karana, filosofi harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Konsep ini, bersama dengan prinsip Tat Twam Asi ("Aku adalah engkau, engkau adalah aku"), menjadi landasan pemikirannya tentang persatuan Indonesia dan gotong royong. Gema nilai-nilai ini jelas terlihat dalam Pancasila, yang mencerminkan harmoni ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Bung Karno mengajarkan bahwa revolusi sejati harus berakar pada mentalitas yang seimbang, seperti yang termaktub dalam kearifan lokal Bali.

Kecintaan Bung Karno pada Bali juga tampak dalam apresiasinya terhadap seni. Ia bukanlah sekadar kolektor lukisan; ia adalah patron seni yang menjalin persahabatan erat dengan maestro seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Ida Bagus Made. Melalui karya-karya mereka, Bung Karno melihat cerminan jiwa bangsa yang kaya, spiritual, dan beradab. Ia secara aktif memilih dan menempatkan lukisan Bali di istana negara, menjadikannya bukan hanya hiasan, melainkan alat untuk mengkomunikasikan identitas budaya Indonesia kepada tamu negara dan rakyatnya. Baginya, seni adalah bahasa universal yang mampu menginspirasi Revolusi Mental, membentuk karakter bangsa yang berintegritas.

Bung Karno juga seorang maestro komunikasi simbolik. Saat di Bali, ia sering mengenakan pakaian adat Bali, seperti udeng, bukan sekadar busana, melainkan pernyataan visual tentang kedekatan dan penghargaannya terhadap budaya lokal. Gaya pidatonya pun sering terinspirasi, mengandung nuansa pengabdian tulus atau "ngayah." Ia menjadikan Bali sebagai "etalase budaya" Indonesia, sering mengajak tamu asing menyaksikan upacara adat yang megah. Upacara ini, dengan segala ritual dan keindahannya, adalah ajaran hidup tentang harmoni dan spiritualitas yang ingin ia perkenalkan kepada dunia. Bahkan patung-patung yang ia koleksi atau pesan, menjadi simbol kekuatan, keindahan, dan nilai-nilai luhur yang ingin ia tanamkan dalam jiwa bangsa.

Bali, dalam imajinasi politik Bung Karno, bukanlah sekadar pulau di peta. Ia adalah pusat kearifan yang membentuk fondasi ideologi kebangsaan. Melalui arsitektur, seni, spiritualitas, dan penggunaan simbol yang cerdas, Bung Karno berhasil merajut narasi tentang Indonesia yang modern namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai luhur Nusantara. Warisan ini terus mengajarkan kita bahwa politik dan kepemimpinan sejati bersemi dari pemahaman mendalam akan budaya dan spiritualitas bangsanya sendiri. (*)

Baca juga :
  • Membela Kuas di Era AI
  • Literasi Bernilai, Bukan Sekadar Membaca
  • Gas untuk Bali, Ruang untuk Rakyat