DALAM lanskap demokrasi yang terus bergerak dinamis, kehadiran pers yang profesional bukan sekadar pelengkap, tetapi nadi utama. Pernyataan Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, saat pelantikan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali 2025–2030, menegaskan bahwa Bali saat ini bukan hanya indah secara alam dan budaya, tetapi juga dewasa dalam kebebasan berekspresi. Keyakinan bahwa sebagian besar wartawan Bali telah tersertifikasi dan terhindar dari praktik abal-abal tentu patut diapresiasi. Namun, lebih dari sekadar administratif, profesionalisme pers lahir dari watak yang menjunjung etik, berpihak pada kebenaran, serta memiliki integritas dalam menyampaikan informasi. Ini selaras dengan pandangan Denis McQuail, pemikir media terkemuka, yang menekankan bahwa kebebasan pers sejati hanya bisa tumbuh bila disertai tanggung jawab sosial. Komitmen Pemprov Bali untuk tidak melakukan intervensi terhadap pemberitaan adalah fondasi yang sehat dalam menjaga independensi media. Lebih dari itu, dukungan untuk menyelesaikan permasalahan wartawan adalah bentuk keberpihakan terhadap ekosistem informasi yang sehat, di mana pemerintah tidak bersifat represif, tetapi menjadi mitra kritis dalam pembangunan. Di sisi lain, pernyataan Ketua Umum PWI Pusat, Hendry CH Bangun, membuka refleksi penting. Bahwa kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sering kali disalahgunakan oleh sebagian kecil pelaku pers. Ini menjadi pengingat bahwa dalam tubuh organisasi pun, pembenahan terus-menerus diperlukan. Rencana pembentukan sekolah jurnalis singkat yang menekankan filosofi pers dan nilai kebangsaan adalah inisiatif strategis untuk menanamkan kembali akar moral jurnalistik. Indeks demokrasi, keterbukaan informasi, dan kemerdekaan pers di Bali yang berada di atas rata-rata nasional menjadi indikator penting. Namun indeks hanyalah angka, dan angka tidak cukup menjamin makna. Demokrasi hanya hidup bila warganya berpikir kritis dan medianya menjaga akal sehat publik. Dalam konteks itulah, pelantikan pengurus PWI Bali bukan sekadar seremoni. Ia menjadi titik temu antara idealisme dan tanggung jawab. Antara kebebasan dan etika. Antara profesi dan pengabdian. Semoga pers Bali tetap menjadi suluh bagi ruang publik, menyala, jernih, dan berpihak pada kebenaran.
Baca juga :
• Bullying Bukan Tradisi Sekolah
• Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata
• Belajar Tanpa Makna, Kurikulum Tanpa Kejelasan?