LANGKAHNYA pelan, tapi pasti. Di tengah tanah berlumpur dan tumpukan sampah yang menggunung di pinggiran aliran sungai, seorang perempuan paruh baya dengan kacamata bening dan sarung tangan oranye menyibak batang bambu yang terjerat plastik. Putri Koster tidak sedang berada di panggung seminar atau ruang rapat resmi. Ia ada di tempat yang paling jujur: di antara bau busuk sampah, lumpur yang lengket, dan sungai yang mengaduh diam-diam. Hari itu, Minggu (8/6/2025), Tabanan diguyur hujan sejak pagi. Tapi hujan tak menjadi alasan untuk berhenti. Bersama tim Sungai Watch, kader TP PKK, Posyandu Provinsi, dan para relawan lainnya, Duta Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber (PSBS) PADAS ini turun langsung memperingati World Ocean Day dengan aksi nyata: mengangkat sampah dari sungai, bukan sekadar berbicara soal lingkungan dari balik mikrofon. Bambu yang tersangkut plastik, botol minuman energi, kantong kresek hitam, bahkan popok bayi. Semuanya dipungut satu per satu. Sesekali ia memberi arahan, sesekali ia diam, memeriksa. Tak ada sorot berlebihan, tak ada protokoler yang membatasi. Hanya tubuh yang mulai kuyup, dan semangat yang kian menyala. “Jangan sampai rumah kita bersih, tapi sungai kita cemari,” katanya lugas kepada Kepala Desa Dauh Peken, I Komang Sanayasa. Kalimatnya terdengar sederhana, tapi sesungguhnya sedang menampar kebiasaan banyak orang. Sungai, yang dulu menjadi pusat kehidupan desa, kini berubah menjadi saluran pembuangan diam-diam. Sampah rumah tangga dibiarkan hanyut, dengan harapan lenyap bersama arus. Tapi seperti kata pepatah tua, apa yang dibuang akan kembali, entah dalam bentuk banjir, penyakit, atau bencana yang lebih besar. “Baru kali ini ada yang menyertai kami membersihkan sungai,” ujar I Made Dwi Bagiasa, Manajer Lapangan Sungai Watch. “Lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja.” Ucapan itu bukan sekadar ungkapan terima kasih. Itu pernyataan jujur dari garis depan, dari mereka yang tiap minggu menyisir sungai tanpa banyak liputan. Dan kehadiran seorang tokoh sekelas Putri Koster di antara lumpur mereka adalah semacam validasi: bahwa perjuangan mereka dilihat, bahkan disambut. Setelah aksi selesai, Putri Koster dan rombongan juga menyempatkan diri mengunjungi TPS3R Sadu Kencana, tempat pengelolaan sampah terpadu milik desa. Di sinilah konsep sampah diselesaikan di sumber bukan hanya wacana, tapi sudah dijalankan dengan kesungguhan. Tak ada yang terlalu heroik dalam aksi ini. Tapi mungkin justru karena itu ia menjadi penting. Karena perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil yang dikerjakan dengan tulus, dari langkah kaki di tanah yang becek, dari tangan yang kotor memungut plastik, dari pemimpin yang tak segan jongkok di pinggir sungai. Dan mungkin, di balik lumpur dan bau tak sedap hari itu, sungai pun tahu: ada yang benar-benar datang untuk mendengarnya mengeluh. (adi/suteja)
Baca juga :
• Dari Mendak ke Mengalir: Revolusi Sunyi Air Suci Besakih
• Lewat Tangan Perempuan, Banten Tetap Hidup di Sanur Kaja
• Seni Peran, Ruang Empati Bertumbuh