PERAYAAN Tumpek Krulut sebagai Hari Kasih Sayang Bali adalah langkah berani yang patut diapresiasi. Untuk pertama kalinya, nilai kasih yang kerap hanya menjadi slogan diwujudkan dalam bentuk kebijakan resmi. Pemerintah Provinsi Bali, melalui Surat Edaran Gubernur Nomor 04 Tahun 2022, menetapkan hari ini sebagai Hari Tresna Asih. Namun, seperti semua bentuk seremoni, pertanyaannya selalu sama: setelah perayaan, apa yang tersisa? Tidak ada yang keliru dari panggung meriah, dari musik yang mengalun lembut, dari pembagian tali kasih, hingga sorak tepuk tangan penonton. Tapi budaya kasih sayang tak bisa hanya dipanggungkan. Ia harus dihidupi. Diperjuangkan dalam kebijakan. Diwujudkan dalam sikap yang konsisten. Jika kasih hanya hadir saat ada kamera dan sorotan lampu, ia hanyalah dekorasi yang indah tapi hampa. Filosofi asah, asih, asuh sesungguhnya menuntut keberanian moral. Asah berarti memberi ruang berpikir kritis dan terbuka. Asih berarti menumbuhkan empati di tengah jurang kesenjangan sosial yang semakin lebar. Asuh berarti tanggung jawab negara terhadap yang lemah dan terpinggirkan. Jika ketiganya tidak hadir dalam praktik pemerintahan, maka perayaan kasih sayang hanya akan menjadi kosmetik budaya yang tak menyentuh akar persoalan. Apa artinya kasih sayang jika hutan tetap ditebang atas nama pembangunan? Apa artinya cinta jika rakyat kecil yang menolak tambang atau reklamasi justru dikriminalisasi? Apa makna pengasuhan jika anak-anak Bali masih harus putus sekolah karena kemiskinan? Bukankah ini saatnya bertanya, apakah kita hanya merayakan kasih, atau sungguh-sungguh membangun masyarakat yang berlandaskan kasih? Budaya Bali bukan sekadar simbol. Ia adalah sistem nilai yang seharusnya menuntun seluruh kebijakan. Menjadikan kasih sayang sebagai pondasi budaya adalah keputusan penting. Tapi agar tidak berakhir sebagai seremoni tahunan, perayaan ini harus menjadi titik tolak. Kasih sayang yang sejati harus terlihat dalam anggaran, dalam prioritas pembangunan, dalam keberpihakan kepada yang rentan. Jika tidak, Hari Tresna Asih hanya akan menjadi satu lagi hari besar yang dirayakan, tapi tak diresapi. Kita tidak sedang kekurangan hari untuk merayakan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menjadikan nilai-nilai itu nyata. Bukan hanya untuk difoto, tapi untuk dirasakan oleh mereka yang tak pernah berada di barisan depan. Karena kasih sejati adalah ketika negara benar-benar hadir, tanpa perlu sorotan kamera. (*)
Baca juga :
• Bali dan Visi Soekarno
• Membela Kuas di Era AI
• Literasi Bernilai, Bukan Sekadar Membaca